Kiprah Hayu Ameng Menyulam Tradisi: Dari Dunia Digital, Kembali ke Egrang Batok

Utas tali egrang batok terlepas dari genggaman tangan kiri Azka. Karuan saja bocah berusia 8 tahun itu kehilangan kendali. Detik berikutnya, batok kelapa berbentuk setengah lingkaran, juga terlepas dari injakan kaki mungilnya. Azka terseok dan terjatuh. Agnita Nurul Hakin berlari kecil menghampiri Azka, dan segera meraih kedua tangan bocah itu untuk membantunya kembali berdiri.
“SAKIT?” tanya Agnita. Azka menggelengkan kepala. Alih-alih meringis, Azka malah terkekeh usai ‘insiden’ kecil tersebut. Dia kembali melanjutkan permainan egrang batok untuk beradu cepat dengan teman-temannya. “Ayo Azka, go, go, goooooo…..” teriak Agnita memberi semangat.
Di lapangan yang tak begitu luas itu, beberapa waktu lalu, belasan anak Sekolah Dasar Al Masoem, Bandung, Jawa Barat, bukan saja terlibat dalam permainan tradisional egrang batok. Mereka juga menikmati permainan lain yakni congklak, oray-orayan, perepet jengkol, dan engklek.
Semua anak yang terlibat dalam acara yang digelar komunitas Hayu Ameng ini, begitu antusias. Tak satu anak pun yang tampak menggenggam gawai. Teriakan, suara cekikikan, dan celoteh khas anak-anak, sampai ke telinga Agnita layaknya sebuah simfoni yang mengasyikkan. Meski tak berirama, namun nyaman didengar.
Agnita, mahasiswi semester tujuh Politeknik STIA LAN Bandung, sudah sangat familiar dengan dunia anak-anak. Perempuan kelahiran tahun 2002 ini mendirikan Hayu Ameng bersama enam orang teman sekampusnya pada Juni 2023. Ide untuk membentuk komunitas ini beranjak dari kerisauannya akan penggunaan gawai pada anak yang cenderung tanpa batas. Tanpa aturan.
Agnita menerangkan, Hayu Ameng dibentuk saat dia kuliah di semester dua. Dia dan teman-temannya mendapat tugas kuliah untuk membuat sebuah inovasi. Ide muncul saat Agnita kerap memperhatikan adiknya yang jarang keluar rumah dan nyaris seharian memelototi gawai.
“Saya jadi terpikir, anak-anak sekarang hampir tidak punya ruang bermain dan tidak mengenal permainan tradisional. Dari situ, muncullah ide membuat inovasi permainan yang bisa menghidupkan kembali permainan tradisional. Jadilah Hayu Ameng, diambil dari Bahasa Sunda yang berarti ayo bermain,” terang Agnita mengawali perbincangan dengan iNewsPurwakarta.id, Sabtu 27 September 2025.
Hayu Ameng setidaknya memberikan dua manfaat positif bagi anak-anak, yakni melestarikan permainan tradisional dan bijak dalam menggunakan gawai, “Tak ada yang bisa menampik bahwa era digital makin menjauhkan anak-anak dari permainan congklak, perepet jengkol, atau oray-orayan,” kata founder Hayu Ameng ini.
“Beranjak dari sejumlah kasus tersebut, Hayu Ameng makin tertantang untuk mengenalkan ragam permainan tradisional kepada anak-anak di tengah gempuran game online,” ujar Agnita yang kini mengambil cuti kuliah dan bekerja sebagai CPNS di Kementerian Pertahanan itu.
Tak lagi tinggal di Bandung, bukan berarti Hayu Ameng menjadi layu dan padam, “Tetap eksis kok. Saya tetap aktif. Terlebih, teman-teman masih ‘jaga gawang’ di sana,” terang Agnita.
Dalam praktiknya, komunitas ini menggunakan metode 3S dalam mengenalkan dan mengajarkan permainan tradisional kepada anak-anak, “Ya, ada tiga metode, yakni Singgah Sakola (berkunjung ke sekolah-sekolah), Susur Desa (berkunjung ke desa-desa), dan Sampeur Undangan (berkolaborasi dengan pemerintah daerah, komunitas, serta organisasi lainnya). Jadi sifatnya jemput bola,” terang Agnita.
“Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan kami, berusia dari mulai 2 hingga 17 tahun. Oh ya, Hayu Ameng sudah resmi menjadi UKM di kampus, bernama Katrabasa, kependekan dari Kaulinan Tradisional Barudak Sunda. Selain itu, kami juga sudah mengantongi hak kekayaan intelektual (HAKI),” imbuhnya.
Di sela kegiatannya melakukan permainan tradisional, Hayu Ameng tak lupa menyisipkan literasi digital kepada anak-anak. Edukasi ringan yang disesuaikan dengan usia anak. Contoh kecil, misalnya tentang berapa jam sebaiknya anak-anak menggunakan handphone dalam sehari, dan jenis tontonan yang layak bagi mereka.
Paduan Tradisi dan Teknologi
Agnita berharap orang tua bisa lebih memahami dunia anak-anaknya. Banyak anak yang bosan di rumah dan akhirnya memilih gawai karena tidak ada aktivitas menarik. “Kalau orang tua menyediakan waktu bermain bersama, atau sekolah menyediakan sarana permainan tradisional, anak-anak pasti lebih tertarik untuk aktif bergerak. Bukan hanya menatap layar HP,” ujarnya.
Bukan, Hayu Ameng bukan anti teknologi. Sebaliknya, justru mereka berharap anak-anak melek digital, “Ya, melek digital dengan tidak kehilangan akar budaya luhur kita, tong poho kana budaya karuhun (jangan lupa budaya leluhur),” ujarnya.
Alih-alih anti digital, Hayu Ameng justru merasa sangat terbantu dengan kehadiran teknologi digital yang disebutnya sebagai lesatan meteor yang kecepatannya tak terperikan.
Maka, Hayu Ameng pun kerap membuat konten tentang keseruan mereka di media sosial. Agnita Cs mengenalkan berbagai permainan tradisional. “Bersyukur, sosialisasi lewat medsos membuat banyak anak Indonesia yang akhirnya mengenal apa itu perepet jengkol, engklek, bentengan, atau congklak,” terang Agnita.
Eksistensi Hayu Ameng yang intens mengenalkan permainan tradisional, diapresiasi oleh pemerintah daerah setempat. Tak heran apabila tahun lalu Hayu Ameng diberi kesempatan tampil dalam event Asia-Africa Festival 2024.
“Lewat perpaduan antara nilai tradisi dan pesatnya teknologi, kami ingin anak-anak Indonesia tidak menjadi korban teknologi, tetapi justru tumbuh menjadi generasi yang melek digital, berkarakter, dan berbudaya. Hayu Ameng ingin menciptakan ruang bermain bagi anak-anak, untuk menyempurnakan dunia digital dengan sentuhan manusia,” paparnya.
Lantas, Agnita mencoba mengajak menyegarkan kembali ingatan kita ihwal sederet fakta dampak negatif yang memiriskan akibat penggunaan gawai yang tak bijak bagi anak.
Jakarta, Juli 2019, RCTI: Bocah berusia usia 9 tahun berinitial V asal Jakarta, mengalami radiasi mata akibat kecanduan gawai. Pada bola matanya tampak bercak merah dan kering. Orang tua V mengatakan, selain terkena radiasi, tampak pula ada perubahan kognitif pada diri anak itu. V jadi sulit berkomunikasi dan cenderung malas.
Gowa, Sulawesi Selatan, November 2020, iNewsTV: Siswi kelas 6 SD berinitial R mengalami kebutaan akibat radiasi. Hasil diagnosa menyatakan, syaraf mata R terluka akibat keseringan menatap layar gawai.
Subang, Jawa Barat, Februari 2021, iNewsTV: Rd, bocah berusia 12 tahun meninggal dunia setelah terkena radiasi yang bersumber dari layar gawai. Hasil diagnosa, siswa kelas 1 SMP ini terpapar radiasi yang memicu kelumpuhan syaraf. Awalnya Rd merasa pusing, lemas, dan tak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Setelah keluar masuk rumah sakit, akhirnya nyawa bocah itu tak tertolong.
Jember, Jawa Timur, Mei 2024, RCTI: Kakak beradik berinitial E berusia 19 tahun dan S 17 tahun, menjadi penderita orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). Lagi-lagi, penyebabnya karena kecanduan gawai.
Kasus-kasus yang terjadi di berbagai daerah tersebut, tak menutup kemungkinan akan kembali terulang di Tanah Air ini. Perlu ada perisai yang mampu menjadi benteng bagi anak-anak dalam penggunaan gawai. Generasi emas ini berhak berada di ruang digital yang aman, ramah dan berkeadilan.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, dilansir dari komdigi.go.id, mencatat bahwa sebanyak 39,71 persen anak usia dini di Tanah Air ini merupakan pengguna telepon seluler. Adapun 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet.
Pada 2024, tercatat ada 5,88 persen anak di bawah usia 1 tahun yang sudah menggunakan gawai, dan 4,33 persen anak di bawah usia 1 tahun yang mengakses internet.
Sebanyak 37,02 persen anak usia 1-4 tahun dan 58,25 persen anak usia 5-6 tahun yang menggunakan telepon genggam. Sedangkan 33,80 persen anak usia 1-4 tahun dan 51,19 persen yang berusia 5-6 tahun tercatat telah mengakses internet.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat bahwa data UNICEF menunjukkan, dari total populasi Indonesia, sebanyak 79,5 persen adalah pengguna internet. Adapun 9,17 persen dari jumlah tersebut, adalah anak berusia di bawah 12 tahun.
Provinsi Pertama
Menghadapi fakta tersebut, Pemerintah memandang perlu membuat regulasi. Tak heran jika akhirnya pada 28 Maret 2025 Presiden RI Prabowo Subianto meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. Regulasi yang dikenal sebagai PP Tunas ini merupakan model yang bisa menjadi acuan global dalam melindungi anak-anak di ruang digital.
“Penerbitan PP Tunas mencerminkan komitmen Indonesia dalam membentuk tata kelola ruang digital yang aman bagi generasi muda,” ujar Menteri Komdigi Meutya Hafid di hadapan Sekretaris Jenderal International Telecommunications Union (ITU) Doreen Bogdan Martin, di Jenewa, Swiss, Juli 2025, dikutip dari komdigi.go.id.
Meutya menyatakan, peraturan ini sebagai komitmen Indonesia dalam melindungi anak secara daring, demi kesehatan dan kesejahteraan generasi muda. Pada kesempatan itu, Meutya menyatakan dukungan terhadap ITU yang menempatkan kantor perwakilan di Jakarta.
Disebutkan Meutya, sebanyak 48 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak di bawah 18 tahun. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dilaksanakan pada 2024, menunjukkan bahwa 80 persen dari populasi, yakni 212 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna internet aktif.
Salah satu kegiatan sosialisasi PP Tunas yang dilakukan Kementerian Komdigi, yakni kunjungan Meutya ke SMA Negeri 2 Purwakarta, Jawa Barat, 14 Mei 2025. Dalam kunjungannya itu, Meutya didampingi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein.
Pada kesempatan tersebut Meutya mengungkapkan bahwa dalam implementasinya PP Tunas mengatur klasifikasi akses media sosial berdasarkan usia anak dan tingkat risiko.
Dikatakannya, anak usia 13 tahun ke bawah hanya boleh mengakses platform berisiko rendah, itu pun harus atas persetujuan orang tua. Untuk usia 13 hingga 15 tahun, akses ke platform risiko rendah tetap memerlukan izin orang tua.
“Adapun anak usia 16 hingga 18 tahun baru boleh mengakses platform dengan risiko tinggi. Namun demikian, tetap masih harus dengan persetujuan orang tua. Akses penuh baru diperbolehkan pada usia 18 tahun ke atas,” terangnya.
Meutya mengapresiasi Dedi Mulyadi yang cepat tanggap mengimplementasikan PP Tunas di Jawa Barat. Dikatakan Meutya, Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang membuat regulasi turunan dari PP Tunas.
Benar, Dedi Mulyadi telah mengeluarkan surat edaran (SE) yang berisi tentang larangan bagi siswa jenjang SD dan SMP membawa gawai dan sepeda motor ke sekolah. Pada berbagai kesempatan, Dedi menyatakan bahwa larangan ini dibuat untuk melindungi siswa dari pengaruh buruk penggunaan media digital.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat mencatat, dari total populasi sebanyak 50,76 juta jiwa pada 2025 ini, jumlah anak usia 0-4 tahun sebanyak 3,98 juta, usia 5-9 sebanyak 3,88 juta, usia 10-14 tahun sebanyak 3,83 juta, dan usia 15-19 sebanyak 4,01 juta.
Dihubungi melalui sambungan telepon, 18 September 2025, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Purwanto, menjelaskan bahwa surat edaran gubernur lahir sebagai bentuk kepedulian pemprov atas hak anak untuk berselancar di ruang digital tanpa dihantui dampak buruknya.
Dikatakan Purwanto, di era digital ini kecenderungan anak lebih banyak berinteraksi dengan gawai daripada dengan lingkungan, orang tua, guru, bahkan sumber positif seperti buku. Ini sangat membahayakan.
“Apabila pemerintah yang memiliki fungsi regulatif tidak membuat pembatasan dan pengendalian terhadap penggunaan gawai, terutama pada usia SD dan SMP, dampak negatifnya sangat serius. Sangat meresahkan,” ujarnya.
“Pada usia itu, stimulasi motorik dan sosio-emosional dari lingkungan yang bahagia sangat dibutuhkan. Karena itu, pengendalian penggunaan gawai mutlak diperlukan. Maka terbitnya PP Tunas merupakan jawaban atas keresahan itu,” imbuh dia.
Purwanto melanjutkan, implementasi PP Tunas akan berjalan efektif apabila semua pihak mendukungnya. “Perlu kerja sama semua pihak. Pemerintah bisa saja membuat regulasi, tapi kalau tidak didukung oleh keluarga, masyarakat, dan tokoh-tokoh masyarakat, kebijakan itu tidak akan efektif. Anak-anak adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya pemerintah,” tandasnya.
Untuk itu, Pemprov Jawa Barat terus mengedukasi orang tua dan pihak sekolah agar paham pentingnya pengendalian penggunaan gawai bagi anak-anak.
Dikatakan Purwanto, surat edaran Gubernur Jawa Barat tentang pembatasan penggunaan gawai bagi siswa, terutama siswa SD dan SMP, sudah disampaikan ke seluruh sekolah.
“Sudah banyak yang menerapkan. Di antaranya Kota Cimahi, Kabupaten Purwakarta, Cirebon, Bekasi, dan Cianjur. Bahkan Purwakarta sudah menerbitkan regulasi yang secara khusus mengatur hal itu,” ujarnya.
Regulasi yang dimaksud Purwanto, yakni Peraturan Bupati Nomor 32 Tahun 2025 tentang Pembatasan Penggunaan Handphone bagi Peserta Didik PAUD, SD, SMP dan Sederajat di Kabupaten Purwakarta.
Aturan tersebut diluncurkan Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein dalam upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Lapang Resimen Armed 1 Sthira Yuda Purwakarta, Jumat 2 Mei 2025 silam.
Perbup Jangan Cuma Hiasan
Lantas, bagaimana dengan dinamika implementasi perbup tersebut? Suatu siang pada pertengahan Juli lalu, Ovi Oktavianti, warga Kelurahan Sindangkasih, Kecamatan/Kabupaten Purwakarta, sekonyong-konyong mendapat pemberitahuan dari pihak SMP Negeri 1 Purwakarta melalui aplikasi perpesanan whatsApp.
Dia diminta datang oleh pihak sekolah untuk mengambil gawai anaknya, Annindy Jessa, yang disita pihak sekolah. Rupanya, Annindy diam-diam membawa gawai ke sekolah, kendati sudah diwanti-wanti tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi tersebut.
Mengendarai motor matik putihnya, Ovi bergegas menuju sekolah menemui guru wali kelas. Hal pertama yang dilontarkannya adalah meminta maaf atas apa yang dilakukan anaknya. Namun begitu Ovi menyatakan bahwa sebagai orang tua, dia perlu juga memantau anaknya selama berada di lingkungan sekolah.
Tanpa handphone, kata Ovi, orang tua akan kesulitan berkomunikasi dengan anak-anaknya. “Misalnya, jika anak kita minta dijemput atau untuk keperluan memesan ojol usai bubaran sekolah,” ujar Ovi.
Wali kelas memahami apa yang ada di benak Ovi. Dia lalu menjelaskan dengan mengutip Bab IV Pasal IV Perbup nomor 32/2025. Pasal tersebut menyebutkan bahwa jika terdapat keperluan sangat penting atau darurat pada saat berada di satuan pendidikan, maka peserta didik dapat menggunakan telepon dan atau alat komunikasi yang disediakan satuan pendidikan.
“Kalau ada hal penting yang mesti disampaikan kepada Annindy, Ibu bisa menghubunginya melalui nomor telepon resmi yang telah kami sediakan,” terang wali kelas. Ovi pun manggut-manggut tanda mengerti. Selanjutnya, seraya menyerahkan handphone, sang wali kelas memohon kepada Ovi agar tidak bosan mengingatkan Annindy supaya tidak membawa alat komunikasi tersebut ke sekolah.
Terbitnya Perbup nomor 32 tahun 2025, ditanggapi oleh Agus M. Yasin, pemerhati pendidikan. Dia berharap regulasi tersebut jangan hanya sebatas aturan di atas kertas. Implementasinya harus jelas dan berkesinambungan.
“Perbup ini tidak akan efektif selama belum dibarengi dengan adanya aspek-aspek pendukung, antara lain konsistensi penegakan di sekolah, pengawasan orang tua di rumah, dan ketersediaan sarana komunikasi alternatif bagi peserta didik,” ujar Agus, Senin 6 Oktober 2025.
“Jadi intinya, Perbup 32/2025 hanya akan menjadi sebuah hiasan yang sulit diterapkan selama penegakannya itu sendiri tidak mencerminkan keteladanan bagi peserta didik,” tutur Sekretaris Komunitas Peduli dan Pemerhati Pendidikan (KP3) Purwakarta ini.
Oleh karena itu, imbuh dia, agar Perbup ini benar-benar terimplementasi efektif, maka setiap unsur mulai dari satuan pendidikan, orang tua, pemerintah daerah, hingga masyarakat perlu menjalankan perannya secara konkret dan terukur.
Dengan peran serta semua pihak, Agus optimistis implementasi Perbup Purwakarta nomor 32 tahun 2025 sebagai regulasi turunan dari PP Tunas, akan terejawantah dengan semestinya. Dengan begitu, sebanyak 88,81 juta anak yang ada di negeri ini merasa nyaman, sehat, memperoleh keadilan ketika berada di ruang digital.**
Editor : Iwan Setiawan