PURWAKARTA, iNews.id - Sidang Praperadilan dalam perkara PT Energi Konstruksi Nasional (EKN) kembali digelar di Pengadilan Negeri Purwakarta kelas 1B, Selasa (17/92024).
Agenda persidangan kali ini, mendengar keterangan saksi ahli dan saksi yang dihadirkan dari pihak pemohon.
Sunan Bendung, sebagai saksi Ahli menerangkan bagaimana seharusnya proses seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, harus berdasarkan prosedur yang benar sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Peraturan Kapolri tentang manajemen Penyidikan.
Dia juga menjelaskan tentang prinsip due process of law, yang dapat diartikan seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar acara yg berlaku universal dalam mencegah penghilangan atas hak hidup, kebebasan/kemerdekaan, dan hak milik yang diambil oleh negara secara ilegal.
"Due proses of law menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap hak setiap individu yang didalamnya menguji dua hal yaitu apakah penyidik atau penuntut umum telah menghilangkan hak tersangka berupa hak hidup, bebas merdeka dan hak milik tanpa prosedur?," katanya.
"Dan jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due proces?," sambungnya.
Lebih lanjut Sunan Bendung mengatakan, hal ini juga berkaitan dengan prinsip tiada proses tanpa prosedur yaitu prinsip hukum yang mensyaratkan bahwa bukti-bukti yang diperoleh haruslah didapatkan dengan cara yang benar menurut hukum. Namun jika cara mendapatkan alat bukti bertentangan dengan hukum maka bukti yang diperoleh secara tidak sah/inkonstitusional tidak dapat digunakan sebagai bukti yg diartikan sebagai bukti yg ternodai (tainted evidence). Termasuk derivative eviden (bukti yg tidak orisinil), dalam hal ini melekat pada bewijs veoring yaitu berkenaan dengan keabsahan mendapatkan alat bukti.
"Kapasitas saya sebagai ahli, yang saya sampaikan berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang saya miliki, menerangkan berdasarkan KUHAP dan Perkapolri nomor 6 tahun 2019, tentang menejemen penyidikan. Tentang prosedur menyangkut bagaimana cara mendapatkan alat bukti agar alat bukti itu dapat diterima sebagai bukti, termasuk didalamnya tentang bagaimana keharusan di dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, sebagaimna yang ditentukan dalam literasi ilmu pengetahuan, asas asas hukum maupun dalam ketentuan hukum yang berlaku saat ini" kata Sunan Bendung.
Dia menambahkan, alat bukti yang bisa digunakan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, harus didapatkan sesuai prosedur.
"Bahwa prosedur menentukan kualitas sebagai alat bukti itu sendiri. Bukti yang relevan tetapi cara mendapatkannya tidak prosedural, maka alat bukti itu tidak dapat diterima sebagai alat bukti dan harus dikesampingkan (exklusionary rule) juga disebut sebagai alat bukti unlawfull legal eviden," ujarnya.
"Bahwa sesorang untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka harus didasarkan pada adanya dua alat bukti yg sah sebagaimna dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan tersangka, dan hal tersebut baru ada dalam proses projustitia yaitu pada saat penyidikan yg di tandai dengan adanya surat perintah penyidikian. Disisi lain juga secara imperatif yaitu harus dikeluarkan SPDP paling lambat 7 hari setelah adanya sprindik, yang diberikan kepada Jaksa penuntut umum, palapor dan terlapor," bebernya.
Sidang praperadilan yang dipimpin, Dr. Yustika Tatar Fauzi Harahap,S,H.M,H dilanjutkan pada Kamis, 19 September 2024 dengan pembahasan agenda kesimpulan. ***
Editor : Iwan Setiawan
Artikel Terkait