PURWAKARTA, iNewsPurwakarta.id - Menghadapi kondisi cuaca ekstrem yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit bagi tanaman khususnya sayuran, PT East West Seed Indonesia (Ewindo) memperkuat produksi benih unggul sayuran.
Dampak dari cuaca buruk itu, menurut Managing Director Ewindo, Glenn Pardede, membuat produksi petani sayur di sejumlah wilayah mengalami penurunan.
"Ini menjadi keprihatinan kami. Jenis virus yang menyerang tanaman semakin banyak akibat cuaca ekstrem kemarin. Sehingga menjadi tantangan bagi pemulia tanaman untuk mengembangkan benih unggul agar produksi petani sayur tak mengalami gangguan," kata Glenn dalam bincang-bincang dengan wartawan di Jakarta.
Persoalan cuaca ekstrem diperparah dengan penggunaan pupuk dan pestisida yang tak bijak di kalangan petani. Sehingga produksi bukannya meningkat tetapi tanah menjadi rusak.
Padahal, jelas Glenn, dalam bertani perlu mempertimbangkan kelangsungan produksi secara berkesinambungan (sustainable).
"Tantangan yang dihadapi petani di negara tropis memang lebih tinggi dibandingkan dengan petani di negara-negara Eropa. Siklus iklim dingin di Eropa bisa mematikan virus," ucap Glenn.
Salah satu upaya untuk memperkuat produksi benih unggul, kata Glenn, Ewindo berkomitmen untuk mengedepankan riset dan pengembangan benih sayuran tropis melalui pusat pemuliaan di Purwakarta.
Sebagai contoh, pada tahun ini Ewindo yang merupakan produsen benih sayuran hibrida terbesar di Indonesia berinvestasi hingga sebesar Rp60 miliar untuk membangun pusat riset dan pengembangan (riset and development) baru.
"Targetnya produksi benih Ewindo harus tahan terhadap penyakit dan punya potensi produksi yang tinggi. Sebagai contoh produksi bisa ditingkatkan dari semula 2 Kilogram sekali panen menjadi 4 Kilogram," tutur Glenn.
Dia berharap program pengembangan benih sayuran ini hendaknya dibarengi dengan penyerapan pasar untuk membantu petani.
Persoalannya, konsumsi sayuran di Indonesia masih rendah baru 40 Kilogram per kapita per tahun atau masih separuh di bawah rekomendasi Organisasi Badan Pangan dan Pertanian (FAO), yakni 80 Kilogram per kapita per tahun.
Guru Besar IPB Bungaran Saragih mengatakan seharusnya seperti komoditi lain, harga sayur terbentuk berdasarkan permintaan dan pasokan di pasar.
Namun kenyataannya, masyarakat biasanya membeli sayur bukan karena ada keinginan untuk membeli jenis tertentu.
Namun setelah sampai di pasar mereka melihat yang jenisnya lebih baik barulah memutuskan untuk membeli jenis itu.
"Padahal jenisnya banyak ada tomat, bayam, caisim, pakcoi, sawi, paria, kacang panjang, timun. Tapi karena yang dilihatnya tomat paling bagus maka yang dibeli tomat," kata Glenn.
Ditambah banyak dari petani sayur yang belum teredukasi dengan baik untuk membaca pasar berdasarkan permintaan. Masih banyak petani sayur yang fokus pada produk tertentu padahal kondisi di pasar sudah jenuh (pemainnya sudah banyak).
Glenn mengatakan untuk memberikan edukasi kepada petani, Ewindo sebelumnya meluncurkan aplikasi Sipindo yang di dalamnya juga mencantumkan informasi harga sayur di pasar.
"Tujuannya agar petani bisa lebih bervariasi dalam memproduksi sayur," ucap Glenn.
Glenn menambahkan, Ewindo saat ini telah membangun sejumlah Learning Farm dan berencana menambahnya di berbagai daerah. Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada petani cara bercocok tanah yang benar agar hasilnya bisa optimal.
"Dengan Learning Farm yang sudah didirikan di delapan lokasi, harapannya petani bisa melihat langsung teknik budidaya yang dikembangkan Ewindo. Sehingga akhirnya termotivasi untuk memperoduksi hal yang sama," tutur Glenn.***
Editor : Iwan Setiawan