oleh: Tatang Budimansyah*
INI kesempatan kali yang kedua bagi saya melakukan wawancara (imajiner) dengan calon legislatif (caleg) Kabupaten Purwakartun. Ya, Purwakartun, sebuah kabupaten fiktif yang letaknya bersebelahan dengan Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Berikut hasil wawancara saya dengan caleg Purwakartun, di sebuah café cukup mentereng. Dua cangkir kopi, sepiring penuh penganan kecil, dan dua botol air mineral menemani kami berdua.
Saya: Apa kabar Pak Caleg?
Caleg: Alhamdulillah, segar bugar.
Saya: Waktu pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) semakin dekat. Bagaimana persiapan Anda?
Caleg: Ya, seperti caleg-caleg Purwakartun lain pada umumnya. Memperbanyak jejaring, berkunjung ke berbagai kalangan masyarakat, dan mencetak stiker dan baliho.
Saya: Jika Tuhan menakdirkan Anda kelak terpilih, Anda optimistis akan mengejawantahkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat Purwakartun?
Caleg: Saya pesimistis!
Saya: Lho, kok?
Caleg: Sifat dasar kemanusiaan saya ingin agar diri ini menjadi seorang legislator yang benar-benar memperjuangkan nasib rakyat Purwakartun. Sesuai dengan tugas saya sebagai wakil rakyat. Itu naluriah. Tapi….
Saya: Tapi apa?
Caleg: Ada kondisi tertentu di mana sifat-sifat naluriah kerap tersapu oleh hawa kotor yang menyeruak di Gedung DPRD. Ini sangat berpengaruh terhadap kadar idealisme. Ada yang berkecamuk dalam batin, antara idealisme yang agung dengan syahwat kekuasaan yang hina.
Saya: Konkretnya?
Caleg: Jika kelak terpilih jadi legislator, pada awalnya mungkin saya menjinjing segudang idealisme dalam perjalanan rumah menuju Gedung Dewan.
Namun seiring waktu berjalan, betapa kompleks hal yang mesti saya hadapi sepanjang menjadi anggota dewan. Saya berinteraksi dengan semua kalangan, dengan rekan-rekan sesama legislator dari parpol yang berbeda, dengan lembaga eksekutif, yudikatif, dan dengan lembaga lain.
Saya: Ya memang harus seperti itu. Di mana letak kesalahannya?
Caleg: Maksud saya, dalam interaksi itu, tak menutup kemungkinan saya dihadapkan dengan individu atau kelompok dari lembaga-lembaga tersebut yang koruptif, intimidatif, atau perilaku lain yang sifatnya menghalalkan segala cara demi keinginan tercapai.
Saya: Kuncinya kan, Anda tak perlu terbawa arus. Malah, Anda sebagai wakil rakyat harus menjalankan fungsi sebagai lembaga kontrol. Simpel kan?
Caleg: Nyatanya tak sesimpel yang kamu bilang?
Saya: Kenapa?
Caleg: Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Di antaranya, bagaimana legislator Purwakartun mau menjalankan fungsi kontrolnya, sedangkan di internal lembaganya belum benar-benar bersih.
Selain itu, para legislator tersandera dan terbebani oleh banyaknya tuntutan yang mesti dituntaskan.
Saya: Tuntutan apa misalnya?
Caleg: Saya kan pernah bilang, ongkos politik untuk berhasil meraih kursi dewan teramat besar. Kursi dewan itu sangat mahal. Biaya yang sudah dikeluarkan, harus Kembali ke pundi-pundi saya. Tak hanya modal yang mesti Kembali, tapi saya pun harus mengeruk laba.
Tuntutan lain, saya pun harus setor kocek secara rutin kepada partai politik yang menghantarkan saya. Membangkang kebijakan parpol, itu sama artinya saya menantang untuk di-PAW.
Tarolah saya bertahan menjadi legislator yang idealis. Di Purwakartun, itu artinya saya menjadi kaum minoritas. Bisa-bisa, saya nanti dikucilkan oleh rekan-rekan karena dianggap sebagai penentang arus.
Dan kondisi seperti inilah yang menyebabkan saya menjadi sangat permisif dengan hal-hal yang beraroma inkonstitusional. Lebih dari sekadar permisif, malah saya akan terbawa arus dan menjadi pelaku perkeliruan, yang melanggar sumpah dewan.
Maka tak heran jika sering terdengar ungkapan: “Ah, waktu butuh suara, kau sangat manis mendekati rakyat. Kalau sudah jadi anggota dewan, kau lupa dengan komitmen!”
Saya: Oooh, begitu ya kondisi Lembaga Legislatif di Kabupaten Purwakartun.
Caleg: Ya, seperti itu. Dan itu akan terus berlangsung dalam setiap periode. Para anggota dewan yang baru, pada mulanya polos dan innocent.
Lambat laun, mereka akan mengikuti tradisi kelam yang telah terbangun. Mereka akan ‘berguru’ kepada para anggota dewan yang kembali terpilih setelah bercokol beberapa periode di Gedung Dewan. Di Purwakartun, siklus itu diprediksi tak akan pernah terputus.
Beranjak dari parpol manapun, mau yang nasionalis, agamis, sosialis, atau kombinasi dari ketiganya, semuanya sama: terbelenggu dengan tradisi.
Di Purwakartun, sebagus apapun platform dan ideologi yang diusung parpol, akan tergerus oleh kaum mayoritas, yakni legislator yang telah menanamkan tradisi secara berkesinambungan.
Saya: Kualitas legislator di Purwakartun sangat jauh berbeda ya dengan legislator Purwakarta?
Caleg: Ya iya dong. Kondisinya berbeda 180 derajat. Di Purwakarta, legislator yang berintegritas, loyal terhadap konstitusi, dan yang lurus dan cakap dalam menjalankan tugas-tugas, adalah kaum mayoritas.
Sebaliknya, legislator yang berperilaku seperti cecunguk, adalah kaum minoritas. Malah boleh dibilang, di Purwakarta tak ada legislator cecunguk. Semuanya memiliki kompetensi sebagai wakil rakyat. Saya acungkan jempol buat para wakil rakyat Purwakarta.
Saya: Kalau begitu, mengapa Anda tak hijrah saja ke Purwakarta dan menjadi caleg di sana?
Caleg: Kan saya pernah bilang, Purwakartun itu bagi saya adalah surga dunia. Semua bisa dilakukan di sini. Enak. Di Purwakartun, hukum bisa dibeli, peraturan bisa dibikin melar dan mengerut, serta ladang kongkalikong sangat luas terbentang.
Di Purwakartun, kita bebas memilih dan mengenakan topeng. Mau topeng seperti apapun tersedia. Topeng dengan ekspresi wajah penuh pesona, empati, atau kharisma, semua ada.
Saya: Tapi namanya juga topeng, kan bukan ekspresi yang sebenarnya. Cuma kamuflase.
Caleg: Yaaaa begitulah, hahahaha!
Saya: Oya, ngomong-ngomong, tahun depan katanya Purwakartun akan menggelar Pilkada ya?
Caleg: Iya. Saat Pilkada, saya sudah menjadi anggota dewan. Menjelang Pilkada digelar, kamu bisa mewawancarai para calon Bupati dan Wakil Bupati Purwakartun. Ya, namanya juga Purwakartun, mereka yang akan mencalonkan diri pastilah lucu-lucu.
Saya: Hus, sembarangan!
Caleg: Hahahaha! Wawancaranya sudah dulu ya. Hari ini saya ada janji bertemu dengan dukun alias “orang pintar”. Saya mau tahu seberapa besar perolehan suara saya nanti, berdasarkan terawangannya.
Saya: Waduh, istighfar Pak!***
Perumahan Asabri Jatiluhur, 30 Agustus 2023
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi iNewsPurwakarta.id
Editor : Iwan Setiawan