PURWAKARTA, iNews.id - Permenaker Nomor 2/2002 tentang JHT menuai kritik dari berbagai elemen. Salah satunya dari Dosen Hukum Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung, Firman T Endipradja.
Menurutnya, kebijakan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengenai Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan setelah pegawai berusia 56 tahun, kurang tepat.
"Apalagi dimasa pandemi Covid-19, banyak para pegawai kena pemutusan kerja sebelum usia 56 tahun," ucapnya, Selasa (8/3/2022).
Ditambahkan Firman, JHT adalah salah satu tumpuan bagi mereka untuk terjun ke dunia usaha setelah tidak bekerja lagi di perusahaan.
Dia juga menilai, kebijakan Permenaker tersebut tidak sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi.
"Selain itu, peraturan ini membuat buruh harus menunggu lama jika hendak mengklaim JHT," ujarnya.
Padahal melalui peraturan lama (Permenaker 19/2015), kata Firman, JHT bisa diklaim dalam waktu satu bulan setelah pekerja mengundurkan diri dari tempatnya terakhir bekerja.
"Jadi saya kira wajar jika banyak yang tidak setuju dengan adanya perubahan ini," terangnya.
Ia menyebut, Permenaker 2/2022 merupakan aturan turunan Undang-undang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi MK.
Disamping itu, Permenaker 2/2022 tidak sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Menaker untuk membuat aturan agar JHT buruh yang terkena PHK dapat diambil oleh buruh yang bersangkutan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, Permenaker ini bertentangan dengan kebijakan Presiden dalam upaya membantu buruh yang ter-PHK kehilangan pendapatannya agar bisa bertahan hidup dari JHT yang diambil satu bulan setelah PHK.
"Jika pekerja mengalami PHK, pemerintah telah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)," ucap dia.
Namun, lanjut dia Presiden Joko Widodo yang tadinya akan meluncurkan program JKT pada 22 Februari ternyata tidak jadi.
Di sisi lain, Menaker Ida Fauziyah menyebutkan akan merevisi aturan tentang pencairan JHT tersebut. Firman pun menilai jika kebijakan tentang JHT ini belum matang dan perlu kajian yang cukup mendalam.
Disamping itu, apakah Revisi Permenaker 2/2022 sebagai tuntutan buruh, atau dalih dari Kemenaker atau Instruksi Presiden Jokowi.
"Kemudian, apakah benar kebijakan JHT yang baru cair saat 56 tahun ini penyebabnya adalah uang buruh (buruh juga berkedudukan sebagai konsumen) yang ditabung di BPJS ketenagakerjaan lewat JHT, menipis atau kosong karena dipakai untuk membiayai kereta cepat dan ibu kota baru," ujar Firman mempertanyakan.
Editor : Iwan Setiawan