get app
inews
Aa Text
Read Next : Tanamkan Disiplin Lalulintas Sejak Dini, Polwan Purwakarta Gelar Police Goes To School

Jajanan Khas Purwakarta, Simping Maranggi: Dua Sensasi Rasa dalam Satu Kunyahan

Jum'at, 09 Mei 2025 | 19:27 WIB
header img
Simping Maranggi, jajanan khas Kabupaten Purwakarta hasil inovasi Lina Herlina, salah satu pelaku UKM di kabupaten itu. foto: dok Lina Herlina/iNewsPurwakarta.id

PURWAKARTA, iNewsPurwakarta.id – Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, identik dengan simping dan maranggi. Bagi wisatawan, menyantap maranggi dan menjinjing simping sebagai oleh-oleh, hampir menjadi sebuah kewajiban.

Tak sulit untuk menikmati maranggi. Kuliner ini ada di seantero Purwakarta. Tersedia di pusat kota hingga di pelosok kampung. Demikian pula dengan simping. Di gerai-gerai cindera mata, simping dengan berbagai varian dipastikan mendominasi etalase.

Tak bisa dipungkiri, maranggi dan simping sudah sejak lama menjadi primadona dan ikon Purwakarta. Beranjak dari fakta itu, benak Lina Herlina tergelitik. Perempuan yang selalu tampil modis ini, terobsesi memadukan maranggi dan simping dalam satu kunyahan, tanpa menghilangkan cita rasa dari kedua penganan tersebut.

Tunggu apa lagi? Inilah saatnya saya harus mulai berinovasi. Maka, setelah sekian lama berkutat untuk meracik camilan yang berbahan baku maranggi dan simping, akhirnya terciptalah produk Simping Maranggi. Tepatnya setahun yang lalu,” ujar Lina saat ditemui di rumahnya, di Desa Sawahkulon, Kecamatan Pasawahan, Purwakarta, belum lama ini.

Simping Maranggi hasil inovasinya ini renyah saat dikunyah. Ada rasa maranggi dalam setiap kunyahannya karena camilan ini memang dibuat dari adonan simping dan maranggi. “Seperti maranggi pada umumnya, saya menggunakan daging sapi, lengkap dengan racikan maranggi. Pokoknya rasanya smoky,” tutur Lina.

Pasar menyambut jajanan unik dan langka ini. Penggemar Simping Maranggi mulai merambah. Untuk memenuhi keinginan konsumen, Lina menjajakan Simping Maranggi di tempat-tempat strategis seperti Rest Area 97 Jalan Tol Purbaleunyi dan beberapa gerai oleh-oleh di Purwakarta. 

Dia menjualnya seharga Rp20 ribu per bungkus dengan netto 80 gram. Ada dua varian Simping Maranggi, yakni rasa original dan pedas, “Simping Maranggi tahan hingga delapan bulan,” terangnya. Selain dijajakan di toko oleh-oleh, Lina juga memanfaatkan platform digital, “Saya promosikan juga di media sosial dan e-commerce,” imbuhnya.

Ke depan, Simping Maranggi juga akan tersedia di mini market. Lina mengaku sudah mengikuti kurasi agar produk camilannya ini bisa terpampang di etalase mini market. Yang menarik, Lina bukan sekadar menciptakan Simping Maranggi. Jauh sebelum itu, tepatnya pada saat Indonesia dilanda Covid-19, dia memproduksi maranggi dengan kemasan kaleng.

Pada 2020, Indonesia menerapkan lockdown akibat wabah Covid-19 merajalela. Rumah makan tak boleh melakukan layanan dine in, alias makan di tempat. Lina yang memiliki warung maranggi di rumahnya, ikut terimbas dengan kebijakan itu. 

Tapi, dia mengambil hikmah dari pemberlakuan lockdown. Pada saat rumah makan lain terpuruk kehilangan omzet, Lina justru memproduksi maranggi kemasan kaleng. 

“Awalnya saya bergabung dengan Komunitas Makanan Sunda Jadul di Bandung pada 2017. Ya, sebelum pandemi melanda. Kami sering mengadakan pertemuan. Di salah satu pertemuan saat pandemi 2020, kebetulan hadir seorang peneliti makanan kaleng dari Yogyakarta. Namanya Dr Asep,” paparnya.  

Kepada Dr Asep, Lina menyampaikan obsesinya untuk memproduksi maranggi yang tahan lama dan bisa dijual hingga lintas pulau. Gayung pun bersambut. Setelah diskusi panjang dengan Dr Asep dan membawa produk untuk diteliti di LIPI Yogyakarta, akhirnya terciptalah maranggi kemasan kaleng yang diberi merek Sasate.

“Prosesnya panjang. Penelitian saja memakan waktu setahun, itu belum termasuk proses mendapatkan izin edar dari BPOM yang saya peroleh dua tahun kemudian. Alhamdulillah, kini Sasate sudah eksis,” kata Lina. Seperti halnya Simping Maranggi, selain pemasaran secara konvensional, Sasate juga dipasarkan dengan memanfaatkan platform digital, “Permintaan terus bertambah,” imbuhnya.

Bara Semangat yang Tetap Menyala

Lina menyadari akan pentingnya proses yang penuh liku sebelum mengecap hasil. Diperlukan perjuangan yang tak kenal lelah dan pantang menyerah. “Proses panjang yang telah saya lalui, toh akhirnya membuahkan hasil,” ucapnya.

Diakuinya, untuk memotivasi diri dan melanggengkan semangatnya sebagai pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), dia selalu membelalakkan mata mencari referensi dan literasi.

“Jujur saja, saya sangat terinspirasi dengan pencapaian luar biasa yang diraih Kata Oma Telur Gabus. Saya mencoba mentransformasikan sikap istikomah, energi, dan titian berbisnis yang diterapkan Kata Oma. Jika Kata Oma diibaratkan sebagai api bernama semangat, maka saya ingin tersulut di dalamnya, agar bara semangat ini terus menyala,” papar Lina.

Tak ada yang menampik bahwa Kata Oma Telur Gabus, seperti yang diutarakan Lina, memang menjadi inspirasi bagi banyak pelaku UKM Tanah Air. Konsistensinya dalam memproduksi jajanan sehat tanpa bahan pengawet, menjadi jalan mulus bagi Kata Oma untuk merambah gurita bisnisnya. Bukan hanya oleh konsumen Tanah Air, Kata Oma juga bisa dinikmati oleh masyarakat global. Sebuah pencapaian yang bukan kaleng-kaleng!

“Dulu, pada situasi tertentu di masa-masa awal merintis, ada kalanya saya dilanda kejenuhan menjadi pelaku UKM. Dalam suasana seperti itu, biasanya saya buru-buru ambil ponsel, buka tulisan dan gambar tentang segala yang berhubungan dengan Kata Oma. Pada saat itu pula, passion terhadap bisnis UKM kembali ‘menggila’. Ya, saya lebih dari sekali membaca perjalanan histori Kata Oma. Sebuah kisah yang membuat semua orang menggelengkan kepala karena takjub,” papar Lina. 

Seperti diketahui, Kata Oma Telur Gabus dianugerahi sebagai The Best UMKM Expo Brilianpreneur 2020. Kata Oma menyisihkan lebih dari 500 peserta lainnya pada ajang bergengsi yang diinisiasi Bank BRI tersebut.

Yang menarik, Founder Kata Oma, Furiyanti, tak pernah merasa jumawa dengan keberhasilannya tersebut. Alih-alih menganggap pelaku UKM lainnya sebagai pesaing, dia malah merangkulnya. Buktinya, dia tak pelit berbagi ilmu dalam setiap kesempatan. Dia bangga jika UKM Indonesia semakin berkibar, bukan saja di kancah lokal dan nasional, tapi juga menjangkau pasar internasional.

Ilmu yang dibagikannya, sebut saja misalnya seputar penanganan produk dan strategi pemasaran. Maka tak berlebihan jika Kata Oma menjadi tolok ukur keberhasilan bagi para pelaku UKM lain. Furiyanti berharap, ke depan akan lahir furiyanti-furiyanti lain, dengan produk yang beragam, untuk memperkaya khazanah UKM Indonesia. 

Dilansir dari website resmi Kata Oma, camilan tradisional ini pertama dibuat pada 1980. Telur Gabus buatan Oma yang diracik tanpa MSG ini rupanya sangat digemari oleh keluarga. Pada 2016, atas saran keluarga, Oma mulai mengormersilkan produknya itu dengan merek Cooocok.

Dua tahun kemudian, bisnis rumahan ini diteruskan oleh putri dan kedua rekannya. Produk yang semula diberi merek Cooocok, akhirnya diubah menjadi Kata Oma, nama yang lebih familiar. Saat ini Kata Oma Telur Gabus sudah menjadi salah satu ‘raksasa’ UKM Tanah Air. Terlebih, setelah bergandeng tangan dengan Unifam sebagai mitra bisnisnya.

Camilan ini ternyata bukan hanya cocok bagi lidah Asia. Kata Oma Telur Gabus juga digemari orang bule. Terbukti, selain ke negara-negara Asean, Korea Selatan dan China, produk ini juga didistribusikan ke Amerika Serikat dan Australia.

“Wow! Kata Oma sangat menginspirasi. Kelak, Simping Maranggi dan Sasate akan mengikuti jejaknya. Insha Allah. Ayo pelaku UKM, tunggu apa lagi? Kita menjadi pendamping Kata Oma untuk menghidupkan warisan kuliner Nusantara,” ujar Lina Herlina optimistis.***


 

Editor : Iwan Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut