Bahaya di Balik Pola “Temuan – Kembalikan – Stop”
Ir. Zaenal Abidin, MP.
Ketua Komunitas Madani Purwakarta
TEMUAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas belanja perjalanan dinas sebesar Rp468 juta lebih di Sekretariat DPRD Purwakarta yang tidak disertai bukti pertanggungjawaban (SPJ), seharusnya menjadi alarm serius bagi publik dan penegak hukum. Terlebih, ada pula fakta mencengangkan lain: pencairan ganda senilai Rp49,7 juta yang hanya sekali didukung dokumen pertanggungjawaban.
Namun alih-alih ditindak secara hukum, respons yang muncul justru mengikuti pola yang sudah sangat kita kenal:
“Temuan – Kembalikan – Stop.”
Dana dikembalikan, lalu kasus dianggap selesai.
Padahal, pola seperti ini sangat berbahaya. Ia tidak hanya menormalkan penyimpangan anggaran, tapi juga membuka celah terjadinya korupsi sistemik dalam tubuh lembaga pemerintahan.
Pengembalian Uang ≠ Bebas Pidana
Harus dipahami dengan tegas: pengembalian uang ke kas negara atau daerah bukanlah penghapus dugaan tindak pidana. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), disebutkan secara jelas bahwa penyalahgunaan kewenangan atau penggunaan uang negara tanpa dasar hukum tetap dapat dipidana, meski uang tersebut telah dikembalikan.
Dengan kata lain, pengembalian uang hanyalah langkah administratif. Pertanggungjawaban pidana tetap wajib ditegakkan.
Bahaya Pola Impunitas
Pola “temuan – kembalikan – stop” menyimpan sejumlah dampak destruktif yang menggerus integritas birokrasi dan kepercayaan publik:
1. Tanpa efek jera
Jika pelaku tahu cukup dengan mengembalikan uang, maka pelanggaran akan terus berulang.
2. Mengaburkan tanggung jawab
Tidak pernah jelas siapa yang memerintahkan, mengatur, atau diuntungkan dari penggunaan dana tanpa SPJ.
3. Menciptakan impunitas struktural
Pola ini membuka jalan bagi budaya “korupsi berjamaah” yang dilindungi oleh sistem birokrasi itu sendiri.
4. Merusak kepercayaan publik
Masyarakat kehilangan keyakinan terhadap integritas DPRD dan aparatur pemerintahan.
Seruan kepada Aparat Penegak Hukum
Kami menegaskan bahwa pengembalian uang bukanlah akhir dari cerita. Aparat Penegak Hukum — mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) — memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk menindaklanjuti temuan BPK sebagai bukti awal dugaan tindak pidana korupsi.
Langkah konkret seperti audit forensik, penyelidikan, dan penetapan tersangka harus menjadi kelanjutan dari temuan ini. Bukan sekadar dicatat sebagai kesalahan administratif semata.
Ajakan untuk Publik: Waspada dan Awasi
Masyarakat berhak tahu: uang rakyat digunakan untuk siapa dan untuk apa. SPJ bukanlah sekadar dokumen teknis, melainkan bentuk pertanggungjawaban moral dan hukum dari pejabat publik kepada warga.
Kami mengajak seluruh elemen sipil — akademisi, aktivis, media, dan masyarakat luas — untuk mengawal kasus ini hingga tuntas, dan memastikan bahwa ia tidak berhenti di meja pengembalian uang.
"Kembalikan bukan berarti selesai. Stop pola ‘temuan – kembalikan – stop’. Saatnya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu."
Editor : Iwan Setiawan