Soroti Kebijakan Dedi Mulyadi, Aktivis Se-Jawa Barat Akan Bentuk Gerakan Jabar Bersatu

PURWAKARTA, iNewsPurwakarta.id – Sejumlah aktivis dari berbagai daerah di Jawa Barat berencana membentuk gerakan bertajuk “Jabar Bersatu” sebagai wadah konsolidasi untuk mengawal kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi agar tetap berjalan sesuai aturan perundang-undangan.
Untuk langkah awal, sejumlah aktivis masyarakat sipil berkumpul di kediaman Zaenal Abidin, di Ciganea, Purwakarta, Sabtu (11/10/2025) sore untuk merumuskan rencana pembentukan gerakan tersebut. Hadir dalam pertemuan tersebut, yakni perwakilan aktivis dari Bandung, Bogor, dan Bekasi.
Cecep Saepulah yang ditunjuk sebagai koordinator wilayah gerakan tersebut, menyatakan bahwa pihaknya sudah memiliki jaringan di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat.
“Kami mengedepankan solidaritas warga dan siap bergerak untuk kepentingan masyarakat. Kami sedang melakukan konsolidasi,” ujarnya.
Zaenal sebagai salah satu penggagas, menjelaskan bahwa gerakan ini bertujuan menghimpun kekuatan masyarakat sipil Jawa Barat guna memastikan tata kelola pemerintahan tetap berada “on the track”.
Ia menegaskan, pihaknya ingin mengawal jalannya pemerintahan agar tidak dijalankan atas dasar suka dan tidak suka, serta tidak mengambil keputusan tanpa kajian komprehensif.
Zaenal menambahkan, salah satu fokus gerakan ini adalah mengawal dugaan kasus korupsi dana bagi hasil pajak (DBHP) tahun 2016–2018 serta siltap di Kabupaten Purwakarta. “Kasus ini akan terus kami dorong sampai ada ketetapan hukum yang inkrah,” katanya.
Menurutnya, selama ini kasus tersebut cenderung ditutupi dengan framing “utang DBHP Kabupaten Purwakarta”. Padahal, kata Zaenal, DBHP tidak bisa dijadikan utang karena merupakan dana wajib transfer (mandatory spending) yang harus disalurkan dalam tahun anggaran berjalan.
Zaenal menyebut, DPRD Kabupaten Purwakarta telah menegaskan dalam rapat dengar pendapat pada 29 Agustus 2025 bahwa pada tahun 2016–2018 tidak ada kondisi luar biasa, baik bencana maupun krisis fiskal, yang dapat menjadi alasan penundaan transfer DBHP.
Dikatakan Zaenal, Ketua DPRD juga menyatakan tindakan Bupati saat itu menunda penyaluran dana bagi hasil adalah ilegal karena tidak melalui persetujuan DPRD.
Sementara itu, aktivis asal Bekasi, Iwan Supriyadi, menyoroti surat edaran Gubernur Jawa Barat tentang Rereongan Sapoe Sarebu yang dinilai serampangan dan tidak berdasar kajian ilmiah.
“Gubernur jangan menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan kebijakan. Kondisi ekonomi masyarakat sedang sulit, tingkat kemiskinan masih tinggi. Kalau seribu rupiah per hari dianggap ringan, itu menunjukkan cara pikir yang tidak berdasarkan realitas sosial,” ucap Iwan.
Ia menilai, rereongan sejatinya sudah menjadi kearifan lokal yang hidup di masyarakat Jawa Barat sejak lama tanpa perlu diatur oleh pemerintah.
Aktivis lain, Dodi Permana dari Bandung, menilai arah kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi justru mempersulit ekonomi rakyat. Ia menuding, kebijakan penertiban pedagang dan penutupan tambang rakyat membuat banyak warga kehilangan mata pencaharian.
“Rakyat kecil digusur, tapi pengusaha besar justru dibiarkan. Ini kebijakan yang tidak adil dan menimbulkan kecemburuan sosial,” ujarnya.
Dodi juga menuding Dedi Mulyadi terlalu fokus membangun citra di media sosial dan mengabaikan kondisi masyarakat bawah. “Bahkan, orang yang mengkritik diancam dan dibully. Ini memalukan bagi demokrasi,” katanya.
Dukungan juga datang dari perwakilan aktivis dari Bogor. Ia menyoroti soal kebijakan Dedi Mulyadi menutup aktivitas tambang di Bogor.
Ia menilai sejumlah kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi terlalu sewenang-wenang. “Pemimpin seharusnya tidak membuat kebijakan sesuka hati. Di Bogor Barat, tambang sudah merajalela. Itu pun perlu jadi perhatian,” katanya.
Ihwal penutupan aktivitas tambang, sebelumnya Dedi Mulyadi melalui media soal menyatakan, tambang itu sudah beroperasi sangat lama, "Sudah melahirkan banyak sekali orang-orang kaya, telah melahirkan properti-properti mewah di berbagai tempat. Pasti sudah banyak keuntungan yang diraih," ujarnya.
Menurut Dedi, aktivitas tambang tersebut berdampak sosial dan lingkungan yang selama ini dirasakan masyarakat kecil. Jalanan menjadi rusak, debu beterbangan, hingga kerap terjadi kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa.
"Setiap kebijakan tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Pasti ada satu pihak yang merasa kecewa, dan saya harus memilih di antara itu," ujar Dedi.**
Editor : Iwan Setiawan