PURWAKARTA, iNewsPurwakarta.id - Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Yadi Sofyan Noor, mengatakan, pihaknya sangat optimistis Indonesia akan menjadi negara lumbung pangan pada 2045 mendatang. Mengingat, masih ada 23 tahun lagi untuk mewujudkan rencana tersebut.
Untuk mendukung hal ini, menurut Yadi, sejumlah sentra pertanian jadi fokus perhatian. Seperti, Sulawesi, Sumatera dan juga Kalimantan. Tak hanya itu, petani Indonesia saat ini sudah dikenalkan dengan teknologi mulai dari teknik budidaya hingga pasca panen. Termasuk, pemanfataan benih unggul berkualitas dan juga benih bioteknologi.
"Komponen-komponen ini yang membuat kita optimistis Indonesia bisa menjadi negara lumbung pangan di kemudian hari," ujarnya.
Di sisi lain, tantangan yang mesti dihadapi dunia pertanian juga semakin besar. Saat ini, perubahan iklim semakin nyata. Mulai dari siklus musim yang berubah, hingga kemunculan berbagai penyakit yang membuat tanaman pangan kurang optimal berproduksi. Kondisi ini bisa mempengaruhi sektor pertanian menjadi sulit berkembang.
Karena itu, para ilmuwan terus berupaya menciptakan berbagai solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan umat manusia, di tengah ancaman krisis iklim tersebut. Salah satunya melalui intensifikasi pertanian termasuk pemanfaatan benih bioteknologi.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan (PRHP) BRIN, Tri Joko Santoso, mengatakan, bioteknologi ini merupakan salah satu jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi dalam dunia pertanian. "Kami, dari BRIN berupaya memanfaatkan bioteknologi yang tujuannya adalah untuk perakitan varietas unggul," ujarnya.
Salah satu varietas tanaman yang tengah diteliti oleh BRIN saat ini adalah bawang merah dengan fokus perhatian pada akselerasi perakitan varietas unggul bawang merah berbasis bioteknologi menghadapi dampak perubahan iklim.
Bioteknologi ini ditujukan untuk perbaikan sifat tertentu. Misalnya tahan terhadap penyakit, produktivitas tinggi dan lainnya. Bioteknologi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah marka molekuler sebagai alat untuk seleksi klon-klon bawang merah yang membawa sifat yang diinginkan. Jadi, varietas hasil seleksi molekuler ini nanti aman untuk dibudidayakan. Sehingga, petani bisa menggunakan varietas bawang merah yang sudah ada sentuhan bioteknologinya itu. “Bioteknologi aman dan sangat diperlukan, bukan hanya oleh petani, tetapi juga oleh peneliti atau pemulia dalam merakit varietas. Petani memanfaatkan varietas yang dihasilkan oleh peneliti atau pemulia,” tegas Tri Joko Santoso.
Contoh lain keunggulan benih bioteknologi adalah benih jagung yang memiliki keunggulan ganda yaitu tahan penggerek batang dan juga herbisida. Dengan keunggulan ganda tersebut, varietas jagung ini akan membuat petani dapat menekan ongkos produksi, meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Pasalnya, jagung bioteknologi ini dapat meningkatkan hasil sekitar 10-15 % dibandingkan varietas sama yang non bioteknologi, sehingga apabila ditanam secara luas dapat mendongkrak panen jagung dari rata-rata nasional sebesar 5,3 ton per hektar menjadi sekitar 7 ton per hektar.
Benih jagung bioteknologi telah digunakan oleh petani di sejumlah negara di dunia sejak tahun 1990-an. Di Indonesia, varietas jagung ini telah mendapatkan sertifikasi aman pangan, pakan, dan lingkungan oleh BPOM, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Keberadaan varietas jagung bioteknologi ini akan membuat akses petani Indonesia terhadap benih unggul akan sama dengan petani di luar negeri sehingga diharapkan produktivitas jagung dan daya saing petani Indonesia tak akan kalah dari petani negara lain serta target agar Indonesia menjadi lumbung pangan pada 2045 tercapai. (**)
Editor : Iwan Setiawan