Delapan Bulan Pasca Kebakaran, Pedagang Pasar Juma’ah Purwakarta Masih Terlantar Tanpa Solusi Jelas
PURWAKARTA, iNewsPurwakarta.id - Tiga pekan pasca-audiensi antara pedagang korban kebakaran Gedung Serbaguna (GS) Pasar Juma’ah (Pasjum) dengan DPRD dan Pemerintah Kabupaten Purwakarta, harapan akan adanya keputusan final kian redup. Para pedagang kini kembali hidup dalam ketidakpastian.
“Sudah tiga minggu berlalu dan kami belum dihubungi oleh pihak Pemda. Padahal di akhir audiensi, DPRD sudah menegaskan agar satu minggu setelah pertemuan itu harus ada keputusan final terkait dana kerahiman,” tutur Entang Sobur, sesepuh pedagang Pasjum, dengan nada lirih.
Padahal, para pedagang telah menunggu selama tujuh bulan sejak kebakaran melanda Pasar Juma’ah pada Maret 2025. Namun, jawaban dari Pemkab—melalui Pj. Sekda Nina Herlina—bahwa dana kerahiman baru akan dianggarkan pada 2026, membuat para korban kian terpukul.
“Kami sudah menanti tujuh bulan, lalu disuruh menunggu lima bulan lagi hingga Maret 2026. Ini bukan solusi yang manusiawi,” keluh Enung, salah satu pedagang.
Data Tak Kunjung Diverifikasi
Pedagang lain, Ratna, juga mengaku kecewa atas alasan Pemkab yang menyebut masih dalam tahap verifikasi data.
“Sudah tujuh bulan hanya untuk mendata? Kami bukan pedagang fiktif. Kami tidak pernah dipanggil untuk diverifikasi. Ini sangat tidak masuk akal,” ujarnya.
Sementara itu, Ali Akbar, Ketua PMII Purwakarta yang hadir dalam audiensi, menilai pemerintah daerah tidak adil.
“Kerahiman bagi korban pembongkaran bangunan liar di Tegal Munjul justru lebih cepat selesai, padahal kebakaran Pasar Juma’ah lebih dulu terjadi. Ini bukti ketidakadilan,” tegasnya.
Ali juga menyoroti peluang dana CSR perusahaan di Purwakarta sebagai solusi cepat. “Purwakarta punya ratusan perusahaan. Kalau 200 perusahaan saja mau menyalurkan CSR-nya, masalah ini bisa selesai di 2025,” katanya.
DPRD Tawarkan Solusi Konkret
Komisi II DPRD Purwakarta juga menyarankan agar Pemkab lebih kreatif.
Anggota Komisi II, Ceceng Abdul Qodir, mencontohkan bahwa CSR tidak hanya harus disalurkan di wilayah sekitar perusahaan.
“PJT II saja pernah menyalurkan bantuan ke Bandung Barat. Jadi seharusnya bisa juga untuk pedagang Pasjum,” ujarnya.
Ia juga mendorong Pemkab agar menggandeng Bank BJB sebagai alternatif pendanaan.
Penderitaan Pedagang Kian Berat
Beberapa pedagang kini hidup dalam kesulitan ekstrem.
Asep, misalnya, mengaku sampai harus menjaminkan KTP kepada petugas parkir rumah sakit karena tak mampu membayar tarif parkir ketika istrinya dirawat.
Rohaniawan Ustadz Sanusi menilai lambannya respon pemerintah sebagai bentuk “langkah kaku yang memiskinkan korban”.
“Pedagang ini setiap hari menanggung penderitaan karena tak ada kepastian. Pemkab seharusnya peka terhadap penderitaan mereka,” ujarnya.
KDM Ikut Disorot
Pedagang lain, Erwin, mempertanyakan sikap Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang hingga kini belum memberi perhatian.
“KDM yang dulu cepat tanggap terhadap kesulitan warga, kini seolah diam. Padahal Pasjum itu bagian dari sejarah Purwakarta yang beliau pimpin dua periode,” ujarnya.
Seruan dari Aktivis dan Tokoh Masyarakat
Aktivis sosial Ali Novel Magad (Bang Alno) menilai Pemkab bisa menggunakan dana dari gerakan “Sapoe Sarebu (Poe Ibu)”—program donasi masyarakat yang diluncurkan Bupati pada Oktober lalu.
“Kalau 10 persen dari penduduk Purwakarta ikut berdonasi, nilainya bisa miliaran rupiah. Ini bisa jadi solusi nyata untuk korban Pasjum,” katanya.
Sementara itu, Aa Komara, Founder Bela Purwakarta, menyebut kasus ini sebagai “Tragedi Kemanusiaan”.
“Kerugian materil mencapai Rp7,3 miliar, tapi penderitaan batin mereka jauh lebih besar. Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal kemanusiaan,” tegasnya.
Ia juga mendesak Pemerintah Pusat agar menaruh perhatian, sesuai visi humanisme yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto di forum PBB.
Seruan Akhir: Itikad Baik dan Keadilan
Kalangan praktisi hukum menilai, penyelesaian kasus ini sepenuhnya bergantung pada itikad baik Bupati Purwakarta.
Jika terbukti ada unsur kelalaian dalam kebakaran, para pedagang bisa menempuh class action untuk menuntut kompensasi, bukan sekadar dana kerahiman.
“Yang dibutuhkan saat ini hanya satu: keadilan yang manusiawi,” ujar seorang advokat senior Purwakarta menutup perbincangan. ***
Editor : Iwan Setiawan