MATARAM, iNewsPurwakarta.id -Lantunan suara yang keluar dari alat musik tiup itu terdengar aneh. Ada aroma magis, namun pada beat-beat tertentu terdengar kesyahduan yang mengiba dan mendayu-dayu. Alat musik tiup bernama Semprong itu memang dulunya dimainkan untuk keperluan ritual mengundang turunnya hujan dan tolak bala. Konon, musik tradisional ini sudah ada sejak abad 16 silam. Menyesal, Semprong yang melengkapi khazanah budaya Lombok ini di ambang kepunahan.
Muhamad Sahroni SPd.I baru saja menanggalkan ikat kepala yang sedari tadi dikenakannya. Wajahnya diliputi keringat. Sesekali dia menghela nafas, kemudian meneguk air mineral botol. Pandangannya menerawang, sepertinya ada yang tengah dia fikirkan. Bersama kawan-kawannya, Sahroni baru rampung mendemonstrasikan kelihaiannya memainkan alat musik tradisional Semprong. Lagi-lagi dia meneguk air mineral. Itu tegukan terakhir karena air mineral yang tadinya ada di dalam botol sudah seluruhnya berpindah tempat ke perutnya.
“Ya, saya memang sedang berfikir bagaimana agar seni tradisional ini tak sampai punah. Saya tak ingin sepuluh atau duapuluh tahun ke depan, Semprong hanya tinggal nama karena tak ada yang meneruskan, karena tak ada lagi yang berminat mempelajarinya,” katanya. Dia dan kawan-kawan pemusik Semprong lainnya tak sudi era modernisasi men-delete tradisi dan budaya yang diagungkan para leluhur.
Tapi Sahroni tak pernah menyerah. Dia boleh saja khawatir, tapi di sisi lain, dia memiliki kebanggaan tersendiri karena hingga saat ini nyatanya musik Semprong masih mendapatkan apresiasi. Kalau dulu lantunan Semprong terdengar di tengah ladang, bukit-bukit dan pegunungan, sekarang musik tradisional ini ‘hijrah’ ke ruang-ruang ber-AC. Sudah tak terhitung berapa puluh atau ratus kali Sahroni dan musisi Semprong lainnya beraksi di hotel-hotel berbintang. Ya, kelompok musik ini masih terus kebanjiran order hingga sekarang. Di beberapa hotel atau tempat lainnya, malah Sahroni Cs dikontrak. Keunikan Semprong menjadi daya tarik tersendiri bagi turis atau tamu-tamu daerah lain yang berkunjung ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Siapakah Sahroni? Lelaki bersahaja kelahiran Desa Midang Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat NTB ini adalah satu dari beberapa gelintir sosok yang berjuang melestarikan Semprong. Dan perjuangannya itu diimplementasikan melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dikelolanya di Jalan Pattimura Dusun/Desa midang, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Dia meyakini lewat lembaga pendidikan nonformal tersebut upayanya mempertahankan Semprong agar tetap eksis, bakal berhasil.
Warga Belajar (WB) yang umumnya baru beranjak remaja, dinilai Sahroni sebagai sasaran yang tepat untuk mentransformasikan ketangkasannya memainkan Semprong. Memang tak semua WB memiliki minat mempelajari seni tradisional tersebut. Tak apalah. Paling tidak Sahroni tak terlalu galau karena, meskipun sedikit, masih ada generasi penerus yang siap menggawangi eksistensi Semprong.
Sahroni tak sendirian. Sosok lain yang siap mentransformasikan semprong adalah Suhaemi. Dialah yang selama ini setia mendampingi Sahroni. Suhaemi pulalah yang bertindak sebagai tutor. Menurut pria gondrong berperawakan kekar ini, perlu proses yang tak sebentar agar anak-anak di lingkungannya mencintai dan mendalami Semprong. Untuk mencintai musik tradisional tersebut, tak boleh ada unsur paksaan. Harus tumbuh dari dalam hati, ‘‘Langkah pertama adalah biarkan anak-anak itu mengenal Semprong. Biarkan mereka menonton pertunjukan, baik pada saat sesi latihan atau pada saat ‘manggung’.
“Biasanya sebelum atau setelah sesi latihan dilakukan, saya membiarkan anak-anak memegang Semprong dan mencoba meniupnya. Saya berharap lambat laun mereka tertarik dan ingin mempelajarinya,’’ kata lelaki kelahiran 52 tahun silam itu. Dia mengaku kemahirannya memainkan alat musik Semprong diturunkan dari kakeknya, ”Saya belajar dari kakek saat saya duduk di bangku SD,’’ terangnya.
Selain melatih Semprong, di PKBM Al Ja’far Suhaemi juga tercatat sebagai tutor seni ukir cukli. Ada 20 WB yang terlibat dalam pelatihan dan pembuatan kerajinan tangan khas Lombok tersebut. Produk yang dihasilkan berupa ukiran hiasan dinding, kaligrafi, tempat tisu, asbak, dan pernak-pernik seni lainnya. Sebagian besar produk seni tersebut dibuat dari media kayu mahoni.
Dan para pengelola PKBM Al Ja’far patut bersyukur karena produk kerajinan kayu ukir tersebut sudah merambah ke mancanegara, selain ke daerah-daerah lain di Indonesia. Sebut saja misalnya Swis, Jerman, dan Australia. Karya para WB tersebut juga dengan mudah ditemukan di pasar seni di Desa Sesela, dan pasar seni di obyek wisata pantai Senggigi. Alhamdulillah, produk tersebut banyak diminati.
Dengan sendirinya, tingkat perekonomian para WB terangkat. Hal itu seperti dituturkan Sahroni. Menurutnya, sebagian WB sudah bisa mandiri dalam memproduksi kerajinan tersebut, ‘‘Mereka sudah banyak yang sukses, malah lebih sukses daripada sang ketua PKBM sendiri,” kata Sahroni berkelakar. Untuk belajar seni ukir, WB diberi kesempatan tiga kali dalam sepekan. Pelatihan tak dipungut biaya alias gratis.
Suara Kodok
Seni tradisional Sermprong mulai dikenal masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat sejak abad 16 silam. Konon, awalnya alat musik tiup Semprong digunakan sebagai ritual untuk mengusir hama burung di sawah, tolak bala, dan meminta hujan. Seiring perkembangan zaman, kini nyaris dipastikan Semprong tak lagi berfungsi untuk media ritual. Meskipun keberadaannya semakin langka, musik tradisional tersebut masih suka dimainkan pada acara-acara seremonial tertentu. Biasanya para musisi Semprong mendapat order dari instansi pemerintahan dan swasta. Sebagian besar acara seremonial tersebut digelar di hotel-hotel berbintang atau di perkantoran.
Pada puncak HAI yang digelar di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sahroni juga ddaulat memainkan alat music tersebut. Dan itu bukan kali pertama. Pada HAI sebelumnya, Sahroni juga diminta memamerkan ‘kabisanya’ di depan para tamu undangan.
Sebenarnya di tiap kabupaten di Pulau Lombok, memiliki seni tradisional tersebut. Namun, kendati cara memainkannya nyaris sama, namun masing-masing kabupaten punya nama tersendiri. Masyarakat Lombok Utara menyebutnya Suling Dewa, di Lombok Timur dikenal dengan nama Pakon, dan di Lombok Tengah disebut Pendewa.
Seni tradisional Semprong, bisa dimainkan sendiri, dua, tiga, hingga sepuluh orang. Jika dimainkan sepuluh orang, maka masing-masing personel memegang alat musik gendang, gong, suling, rencek, mandolin dan personel lainnya memainkan masing-masing Semprong Besar semprong Sedang, dan Semprong Kecil.
Suara yang keluar dari alat tiup ini terdengar unik. Bisa meniru suara kodok, sapi, atau ular. Semprong Kecil yang berfungsi sebagai melodi atau ritem bersahutan dengan Semprong besar sebagai bas. Perlu keahlian khusus untuk meniupnya. Tanpa mengenal tekniknya, semprong tak bakal mengeluarkan bunyi. Selain keahlian, peniup Semprong harus memiliki nafas yang terlatih dan prima. Tak berlebihan jika alat tiup Semprong dipercaya sebagai terapi bagi penderita gangguan pernafasan dan penyakit insomnia alias sulit tidur.
Nama Semprong berasal dari kata Serempung (Bahasa Sasak yang berarti serumpun). Semprong Besar yang berfungsi sebagai bas berukuran sekitar 1,5 meter, “ Alat tiup tradisional khas Lombok ini dibuat dari kayu lengkukun,” terang Sahroni.*
Editor : Iwan Setiawan
Artikel Terkait