[OPINI]: Lembaga Praperadilan Belum Mencerminkan Azas Peradilan yang Cepat, Sederhana dan Murah

Tatang Budimansyah
Dr.H. Iwan Rasiwan, SH, MH

Oleh: Dr.H. Iwan Rasiwan, SH, MH*

Apa itu Praperadilan? Menurut Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), praperadilan merupakan tugas tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri (PN).

KITA tahu bahwa tugas pokok PN adalah mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik.

Tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP yaitu melakukan pengawasan horizontal. Yakni, atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka, selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan.  Sehingga tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang undang.

Praperadilan merupakan lembaga  yang diperkenalkan Rancangan KUHAP 2025 diatur dalam Bab X Bagian I sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili Pengadilan Negeri. 

Jadi, tujuan dari praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal. Sedangkan esensi dari praperadilan yakni untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka.

Tujuannya agar tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum. Bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.

Definisi Praperadilan menurut RKUHAP tahun 2025 Pasal 1 Ayat (14) adalah kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan terhadap objek Praperadilan, yaitu:

a. sah atau tidaknya Upaya Paksa; 

b. sah atau tidaknya penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan; 

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi; dan/atau

d. terjadi penyiksaan atau kekerasan selama proses pelaksanaan Upaya Paksa.

Adapun upaya paksa adalah tindakan penyidik untuk menjalankan fungsi penyidikan. Upaya paksa bertujuan untuk melaksanakan perintah dari undang-undang. Ini diatur dalam pasal 84 RKUHAP.

Bentuk Upaya Paksa meliputi:

a. Penetapan Tersangka;

b. Penangkapan;

c. Penahanan;

d. Penggeledahan;

e. Penyitaan;

f. Penyadapan;

g. pemeriksaan surat;

h. larangan bagi Tersangka untuk keluar wilayah Indonesia.

Pasal 25 Ayat (2) RKUHAP Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena:

a. tidak terdapat cukup alat bukti;

b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;

c. Penyidikan dihentikan demi hukum;

d. perkara tindak pidana yang Penyidikannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak dimulainya Penyidikan;

e. terdapat Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Tersangka atas perkara yang sama;

f. kedaluwarsa;

g. Tersangka meninggal dunia;

h. ditariknya Pengaduan pada tindak pidana aduan; atau

i. tercapainya penyelesaian perkara di luar pengadilan

Pasal 67 Ayat (2) RKUHAP Gugurnya kewenangan Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:

a. Penuntutan dihentikan demi hukum; 

b. terdapat Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Terdakwa atas perkara yang sama;

c. kedaluwarsa;

d. Terdakwa meninggal dunia;

e. ditariknya Pengaduan bagi tindak pidana aduan;

f. Terdakwa membayar maksimum pidana denda atas tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II; 

g. Terdakwa membayar maksimum pidana denda kategori IV atas tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;

h. tercapainya penyelesaian perkara melalui Mekanisme Keadilan Restoratif; atau

i. diberikannya amnesti atau abolisi.

Objek praperadilan selanjutnya adalah terjadi penyiksaan atau kekerasan selama proses pelaksanaan upaya paksa.

Penyidik hal melakukan penyidian untuk membuat terang suatu tindak pidana guna menemukan tersangka, tidak digunakan aksi kekerasan fisik atau penyiksaan terhadap tersangka.

Penyidik harus bisa menemukan unsur kesalahan bukan mencari kesalahan seorang tersangka.

Ada adagium “Lebih baik tidak menjadikan seorang tersangka kepada orang yang bersalah dari pada menjadikan tersangka terhadap orang yang tidak bersalah “

Dalam Pasal 151 Ayat (2) RKUHAP Permohonan pemeriksaan sah atau tidaknya pelaksanaan Upaya Paksa yang diajukan oleh Tersangka, Keluarga Tersangka atau Advokatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

Hemat penulis, permohonan praperadilan terhadap upaya paksa hanya bisa sekali merupakan kepastian hukum yang benar kita junjung tinggi, peradilan cepat  dan biaya murah.

Kita lihat dalam pasal Pasal 155 Ayat (1) Terhadap putusan praperadilan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 sampai dengan Pasal 153 tidak dapat dimintakan banding.

Ayat  (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Analisa terhadap pasal 155 Ayat (2) yang bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Sebab, tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintah serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.***

*Penulis adalah Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Kartamulia, Purwakarta, Jawa Barat

Editor : Iwan Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network