PURWAKARTA, iNewsPurwakarta.id - Di saat banyak pemuda bermimpi ke negeri barat untuk mengejar kemewahan, Ahmad Apandi Asgar justru memilih Timur Tengah - bukan untuk mencari emas, tapi cahaya ilmu.
Pemuda sederhana dari Kampung Tegal Malaka, Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta ini berhasil meraih beasiswa langka ke Universitas Imam Syafi’i di Sana’a, Yaman. Dari ratusan pendaftar se-Indonesia, hanya 20 orang yang diterima. Dari Jawa Barat, hanya dua. Dan salah satunya adalah Asgar.
Namun, di tengah gemilangnya prestasi, Asgar terancam gagal berangkat. Bukan karena nilai atau kemampuan — melainkan karena hal paling sederhana: biaya tiket.
Semua dokumen sudah di tangan. Surat penerimaan dari kampus sudah keluar. Visa pelajar sudah diproses. Tapi satu yang belum ada: ongkos berangkat.
Asgar membutuhkan sekitar Rp48 juta untuk tiket, visa, dan akomodasi awal. Dana itu harus lunas sebelum 30 September 2025, karena ia dijadwalkan terbang ke Yaman pada November.
Hingga pertengahan September ini, ia baru mengumpulkan sekitar Rp5,9 juta. Itu baru sekitar 12% dari total kebutuhan. Sementara waktu terus berjalan.
“Saya yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang ingin menuntut ilmu,” ujar Asgar dengan mata yang tidak mau menyerah.
Negara Belum Hadir, Rakyat Mulai Bergerak
Yang menyedihkan, proposal bantuan sudah ia layangkan ke berbagai instansi: Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta, Dinas Pendidikan Provinsi, bahkan lembaga sosial. Hasilnya? Hampir seragam: “Kami belum punya anggaran untuk itu.”
Padahal, beasiswa ini tidak membebani negara sama sekali. Biaya kuliah dan hidup selama 5 tahun ditanggung oleh lembaga pemberi beasiswa, Rabithoh al Ato’ wal Irfan. Yang dibutuhkan Asgar hanya satu hal: tiket untuk sampai ke sana.
Mimpi Seorang Anak Kampung, Haruskah Kandas di Bandara?
Ini bukan kisah satu orang. Ini kisah banyak pemuda Indonesia yang berjuang menembus batas, melawan nasib, dan menggenggam harapan.
Asgar tidak meminta rumah. Ia tidak menuntut fasilitas. Ia hanya ingin satu tiket. Tiket menuju masa depan.
“Saya hanya ingin belajar. Saya ingin pulang dan mengajar. Saya ingin ilmu saya bermanfaat. Saya percaya, akan ada tangan-tangan baik yang Allah gerakkan untuk membantu.”
Saat pemerintah gencar berbicara soal “Indonesia Emas 2045”, kisah Asgar justru menunjukkan retak di lapisan akar rumput: ketika seorang calon intelektual muda terpaksa keliling kampung demi mencari dana tiket — bukan ke Paris, bukan ke Tokyo, tapi ke Yaman, untuk belajar agama.
Bagi siapa pun yang ingin membantu, bukan soal seberapa besar. Tapi seberapa tulus. Karena satu tiket ini bukan hanya untuk Asgar. Tapi untuk ilmu, masa depan, dan negeri yang lebih baik. ***
Editor : Iwan Setiawan
Artikel Terkait
