oleh: Tatang Budimansyah*
DALAM beberapa bulan ke depan, ada hajatan politik bernama Pemilihan Legislatif (Pileg). Dalam sebuah kesempatan, saya berhasil melakukan wawancara (imajiner) dengan seorang calon anggota legislatif alias caleg di Kabupaten Purwakartun. Ya, Purwakartun, sebuah kabupaten fiktif yang letaknya bersebelahan dengan dengan Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Inilah hasil wawancara saya dengannya.
Saya: Apa alasan Anda ikut dalam kontestasi Pileg?
Caleg: Itu pertanyaan dungu. Saya ‘nyaleg’ ya tentu saja supaya menjadi anggota dewan atau wakil rakyat.
Saya: Apa enaknya jadi anggota dewan?
Caleg: Mau jawaban yang jujur atau yang formal?
Saya: Yang jujur dong.
Caleg: Bisa pelesiran gratis ke luar daerah. Dapat uang saku pula. Dilayani oleh para staf Setwan. Pokoknya nikmat deh.
Saya: Yang saya tahu, biasanya ke luar daerah itu dalam rangka kunjungan kerja. Bukan pelesiran.
Caleg: Lho, tadi katanya ingin jawaban yang jujur.
Saya: Oh, sorry, sorry!
Caleg: Anda lupa ya, kita kan tinggal di Purwakartun. Ayo, mau bertanya apa lagi?
Saya: Sepulang kunjungan ke luar daerah, pasti membawa sesuatu yang berguna ya? Misalnya, mendapat transformasi ilmu untuk diterapkan di Purwakartun.
Caleg: Transformasi ilmu? Hm, bullshit itu. Yang jelas, yang dibawa adalah oleh oleh untuk dibagikan kepada keluarga dan kerabat.
Saya: Waduh!
Caleg: Eit, jangan kaget. Ingat, ini Purwakartun bung! Bagaimana mungkin mampu menyerap ilmu dari hasil kunjungan. Pertemuan dengan tuan rumah kan cuma formalitas. Pertemuan yang bikin mata mengantuk.
Selebihnya, mending mencicipi makanan khas daerah setempat, karaokean, mengunjungi tempat-tempat wisata, dan keluar masuk mall. Nikmat kan? Nikmat gak? Hei, kok malah bengong sih! Kenapa?
Saya: Gak apa-apa. Saya cuma berfikir, kalau Anda kelak terpilih jadi caleg, Purwakartun pasti tambah hancur.
Caleg: Hahaha. Habisnya kamu minta jawaban yang jujur sih. Dan itulah jawaban saya yang paling jujur.
Saya: Setahu saya, legislator itu wakil rakyat. Kalau Anda berperangai seperti itu, apa masih bisa dikatakan mewakili rakyat?
Caleg: Justru rakyat yang harus mewakili saya melalui suara mereka di bilik suara. Setelah mereka memilih saya dan saya nanti terpilih, maka itu sudah impas.
Saya: Impas? Maksudnya?
Caleg: Ya, impas. Mereka memilih saya, dan saya membayar mereka. Memangnya untuk jadi caleg itu gratis! Harus keluar kocek ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Saya: Anda tidak merasa rugi keluar uang sebanyak itu?
Caleg: Ya tidak dong. Kan nanti jumlah kocek yang saya terima selama menjadi legislator, harus lebih besar berlipat-lipat dari pada kocek yang saya keluarkan untuk membeli suara pemilih. Modal harus Kembali, selanjutnya mencari laba sebesar-besarnya.
Saya: Seperti prinsip dagang dong?
Caleg: Yaaaa begitulah.
Saya: Pasti gaji anggota dewan itu besar ya?
Caleg: Sebenarnya gaji formal yang diterima setiap bulan, tak cukup buat menutupi modal yang dikeluarkan saat nyaleg.
Saya: Lantas dari mana kocek untuk menutupi modal dan meraup laba yang banyak?
Caleg: Banyak celah.
Saya: Misalnya?
Caleg: Ah, kamu kan jurnalis. Pasti sudah tahu.
Saya: Ya, tapi kan komentar jujur dari Anda harus pula diketahui masyarakat Purwakartun.
Caleg: Saya bocorkan sebagian saja ya. Dalam proses pengesahan APBD, acap kali anggota dewan menerima duit Kepala Daerah. Ini yang biasa disebut korupsi massal. Selain dalam pengesahaan APBD, waktu yang rawan adanya perkeliruan adalah saat laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Untuk memuluskan laporan tersebut, kepala daerah menjejali mulut para wakil rakyat itu dengan lembaran uang. Ini yang lazim disebut sebagai ‘uang ketuk palu’.
Saya: Lho, bukannya salahsatu fungsi dewan itu melakukan pengawasan?
Caleg: Idealnya begitu. Tapi pada praktiknya, antara lembaga legislatif dengan eksekutif sering bermain kongkalikong.
Saya: Waduh!
Caleg: Hm, gak usah pura-pura kaget lah!
Saya: Hahahahaha! Oke, oke. Terus, permainan kotor apa lagi yang bisa dilakukan anggota dewan Purwakartun?
Caleg: Biasanya modusnya adalah penyalahgunaan anggaran. Misalnya menggelembungkan anggaran atau mark up. Misalnya, menambah pendapatan para wakil rakyat ini dengan cara yang tidak sah melalui pos anggaran DPRD.
Saya: Terus apa lagi?
Caleg: Titip proyek atau alokasi khusus lewat anggaran yang diusulkan pemerintah.
Saya: Banyak juga ya penghasilan tambahan para wakil rakyat ini.
Caleg: Ya. Nanti Ketika saya jadi anggota dewan, harus pula melakukan itu untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Jangan lupa, ongkos politik untuk duduk di kursi dewan kan mahal banget!
Saya: Selain itu, dari mana lagi para anggota dewan mengeruk rupiah?
Caleg: Yang kerap dilakukan juga adalah memalsukan dokumen. Misalnya dalam perjalanan dinas. Mereka berbuat sedemikian rupa seolah-olah melakukan perjalanan dinas. Padahal fiktif.
Saya: Jadi begitu ya tabiat para legislator di Purwakartun.
Caleg: Betul. Kondisinya sangat jauh berbeda, atau bertolakbelakang dengan kondisi di Purwakarta.
Saya: Beda ya?
Caleg: Sangat jauh berbeda. Semua anggota Dewan Purwakarta sangat berintegritas. Mereka mengedepankan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi. Di Purwakarta, fungsi dewan benar-benar dilaksanakan. Tak ada yang terlibat praktik kotor. Para anggota dewan di Purwakarta sangat dicintai dan disegani rakyat. Sebaliknya, di Purwakartun, rakyat sudah benar-benar muak dan jijik dengan tingkah polah dewan.
Saya: Lantas, mengapa Anda malah nyaleg di Purwakartun, tidak di Purwakarta?
Caleg: Karena Purwakartun bagi saya adalah surga dunia!
Saya: Semoga dalam Pileg nanti Anda tak terpilih, agar Purwakartun tak semakin rusak.
Caleg: Semoga doa kamu tidak terkabul. Oke, wawancaranya diakhiri dulu aja ya, soalnya hari ini saya ada janji mau bagi-bagi sembako dan amplop di dapil saya.
Saya: Baiklah. Tapi janji ya kita ketemu Kembali untuk melakukan wawancara lagi.
Dan wawancara saya dengan caleg Purwakartun pun disudahi. Dia berjanji untuk Kembali melanjutkan wawancara beberapa hari ke depan.***
Perumahan Asabri Jatiluhur, 10 Agustus 2023
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi iNewsPurwakarta.id
Editor : Iwan Setiawan