Kiprah Hayu Ameng Menyulam Tradisi: Dari Dunia Digital, Kembali ke Egrang Batok

Di sela kegiatannya melakukan permainan tradisional, Hayu Ameng tak lupa menyisipkan literasi digital kepada anak-anak. Edukasi ringan yang disesuaikan dengan usia anak. Contoh kecil, misalnya tentang berapa jam sebaiknya anak-anak menggunakan handphone dalam sehari, dan jenis tontonan yang layak bagi mereka.
Paduan Tradisi dan Teknologi
Agnita berharap orang tua bisa lebih memahami dunia anak-anaknya. Banyak anak yang bosan di rumah dan akhirnya memilih gawai karena tidak ada aktivitas menarik. “Kalau orang tua menyediakan waktu bermain bersama, atau sekolah menyediakan sarana permainan tradisional, anak-anak pasti lebih tertarik untuk aktif bergerak. Bukan hanya menatap layar HP,” ujarnya.
Bukan, Hayu Ameng bukan anti teknologi. Sebaliknya, justru mereka berharap anak-anak melek digital, “Ya, melek digital dengan tidak kehilangan akar budaya luhur kita, tong poho kana budaya karuhun (jangan lupa budaya leluhur),” ujarnya.
Alih-alih anti digital, Hayu Ameng justru merasa sangat terbantu dengan kehadiran teknologi digital yang disebutnya sebagai lesatan meteor yang kecepatannya tak terperikan.
Maka, Hayu Ameng pun kerap membuat konten tentang keseruan mereka di media sosial. Agnita Cs mengenalkan berbagai permainan tradisional. “Bersyukur, sosialisasi lewat medsos membuat banyak anak Indonesia yang akhirnya mengenal apa itu perepet jengkol, engklek, bentengan, atau congklak,” terang Agnita.
Eksistensi Hayu Ameng yang intens mengenalkan permainan tradisional, diapresiasi oleh pemerintah daerah setempat. Tak heran apabila tahun lalu Hayu Ameng diberi kesempatan tampil dalam event Asia-Africa Festival 2024.
“Lewat perpaduan antara nilai tradisi dan pesatnya teknologi, kami ingin anak-anak Indonesia tidak menjadi korban teknologi, tetapi justru tumbuh menjadi generasi yang melek digital, berkarakter, dan berbudaya. Hayu Ameng ingin menciptakan ruang bermain bagi anak-anak, untuk menyempurnakan dunia digital dengan sentuhan manusia,” paparnya.
Lantas, Agnita mencoba mengajak menyegarkan kembali ingatan kita ihwal sederet fakta dampak negatif yang memiriskan akibat penggunaan gawai yang tak bijak bagi anak.
Jakarta, Juli 2019, RCTI: Bocah berusia usia 9 tahun berinitial V asal Jakarta, mengalami radiasi mata akibat kecanduan gawai. Pada bola matanya tampak bercak merah dan kering. Orang tua V mengatakan, selain terkena radiasi, tampak pula ada perubahan kognitif pada diri anak itu. V jadi sulit berkomunikasi dan cenderung malas.
Gowa, Sulawesi Selatan, November 2020, iNewsTV: Siswi kelas 6 SD berinitial R mengalami kebutaan akibat radiasi. Hasil diagnosa menyatakan, syaraf mata R terluka akibat keseringan menatap layar gawai.
Subang, Jawa Barat, Februari 2021, iNewsTV: Rd, bocah berusia 12 tahun meninggal dunia setelah terkena radiasi yang bersumber dari layar gawai. Hasil diagnosa, siswa kelas 1 SMP ini terpapar radiasi yang memicu kelumpuhan syaraf. Awalnya Rd merasa pusing, lemas, dan tak bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Setelah keluar masuk rumah sakit, akhirnya nyawa bocah itu tak tertolong.
Jember, Jawa Timur, Mei 2024, RCTI: Kakak beradik berinitial E berusia 19 tahun dan S 17 tahun, menjadi penderita orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). Lagi-lagi, penyebabnya karena kecanduan gawai.
Kasus-kasus yang terjadi di berbagai daerah tersebut, tak menutup kemungkinan akan kembali terulang di Tanah Air ini. Perlu ada perisai yang mampu menjadi benteng bagi anak-anak dalam penggunaan gawai. Generasi emas ini berhak berada di ruang digital yang aman, ramah dan berkeadilan.
Editor : Iwan Setiawan