Tarolah saya bertahan menjadi legislator yang idealis. Di Purwakartun, itu artinya saya menjadi kaum minoritas. Bisa-bisa, saya nanti dikucilkan oleh rekan-rekan karena dianggap sebagai penentang arus.
Dan kondisi seperti inilah yang menyebabkan saya menjadi sangat permisif dengan hal-hal yang beraroma inkonstitusional. Lebih dari sekadar permisif, malah saya akan terbawa arus dan menjadi pelaku perkeliruan, yang melanggar sumpah dewan.
Maka tak heran jika sering terdengar ungkapan: “Ah, waktu butuh suara, kau sangat manis mendekati rakyat. Kalau sudah jadi anggota dewan, kau lupa dengan komitmen!”
Saya: Oooh, begitu ya kondisi Lembaga Legislatif di Kabupaten Purwakartun.
Caleg: Ya, seperti itu. Dan itu akan terus berlangsung dalam setiap periode. Para anggota dewan yang baru, pada mulanya polos dan innocent.
Lambat laun, mereka akan mengikuti tradisi kelam yang telah terbangun. Mereka akan ‘berguru’ kepada para anggota dewan yang kembali terpilih setelah bercokol beberapa periode di Gedung Dewan. Di Purwakartun, siklus itu diprediksi tak akan pernah terputus.
Beranjak dari parpol manapun, mau yang nasionalis, agamis, sosialis, atau kombinasi dari ketiganya, semuanya sama: terbelenggu dengan tradisi.
Di Purwakartun, sebagus apapun platform dan ideologi yang diusung parpol, akan tergerus oleh kaum mayoritas, yakni legislator yang telah menanamkan tradisi secara berkesinambungan.
Editor : Iwan Setiawan
Artikel Terkait