Pasien dari kalangan kurang mampu, menurut aturan UHC JKMB, cukup membawa KTP, Kartu Keluarga (KK) dan materai 10.000 untuk memperoleh layanan kesehatan.
Tak cukup sampai di situ. Perlakuan yang tidak diskriminatif, ramah, dan humanis, adalah bagian penting lainnya yang sejatinya diterapkan pihak rumah sakit.
Kritik adalah Jamu
Hal lain yang tak kalah penting agar program UHC JKMB berjalan sesuai harapan, adalah sosialisasi secara intensif dan masif.
Siapa yang bisa menjamin bahwa seluruh masyarakat sudah mengetahui program yang sangat mulia dari Pemkot Medan ini?
Idealnya sosialisasi dilaksanakan tidak sepintas, bukan untuk menggugurkan kewajiban semata, dan tidak mengedepankan acara seremonial belaka.
Selain lembaga eksekutif dan legislatif, media massa pun punya peran besar dalam membantu sosialisasi program UHC JKMB.
Lomba karya tulis jurnalistik tentang UHC JKMB yang diinisiasi Komintas Jurnalis Medan (KoJAM), adalah bentuk sosialisasi yang terbilang efektif.
Maka sudah sewajarnya jika Pemkot Medan mengapresiasi kiprah para awak media tersebut.
Yang tak boleh dilupakan oleh Pemkot Medan adalah, memberi ruang kepada media massa dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial.
Selain mengajak pers untuk bersama-sama menyosialisasikan UHC JKMB, Pemkot Medan juga perlu menerima masukan dari pers.
Masukan tersebut bisa berupa kritik, atau fakta yang menunjukkan adanya ketidakberesan dalam pelaksanaan UHC JKMB.
Tentunya Pemkot Medan akan menerima kritik yang disampaikan pers dalam produk pemberitaan. Kritik yang konstruktif tak ubahnya seperti jamu: pahit, namun menyehatkan.
Kritik yang konstruktif, jauh lebih bermakna daripada pujian membabi buta yang melenakan.
UHC JKMB diluncurkan pada saat Pemkot Medan dipimpin Bobby Nasution. Masyarakat Medan selayaknya bersyukur karena Wali Kota Rico Waas juga sangat konsens di sektor kesehatan.
Editor : Iwan Setiawan
Artikel Terkait