Dia berharap program pengembangan benih sayuran ini hendaknya dibarengi dengan penyerapan pasar untuk membantu petani.
Persoalannya, konsumsi sayuran di Indonesia masih rendah baru 40 Kilogram per kapita per tahun atau masih separuh di bawah rekomendasi Organisasi Badan Pangan dan Pertanian (FAO), yakni 80 Kilogram per kapita per tahun.
Guru Besar IPB Bungaran Saragih mengatakan seharusnya seperti komoditi lain, harga sayur terbentuk berdasarkan permintaan dan pasokan di pasar.
Namun kenyataannya, masyarakat biasanya membeli sayur bukan karena ada keinginan untuk membeli jenis tertentu.
Namun setelah sampai di pasar mereka melihat yang jenisnya lebih baik barulah memutuskan untuk membeli jenis itu.
"Padahal jenisnya banyak ada tomat, bayam, caisim, pakcoi, sawi, paria, kacang panjang, timun. Tapi karena yang dilihatnya tomat paling bagus maka yang dibeli tomat," kata Glenn.
Ditambah banyak dari petani sayur yang belum teredukasi dengan baik untuk membaca pasar berdasarkan permintaan. Masih banyak petani sayur yang fokus pada produk tertentu padahal kondisi di pasar sudah jenuh (pemainnya sudah banyak).
Glenn mengatakan untuk memberikan edukasi kepada petani, Ewindo sebelumnya meluncurkan aplikasi Sipindo yang di dalamnya juga mencantumkan informasi harga sayur di pasar.
"Tujuannya agar petani bisa lebih bervariasi dalam memproduksi sayur," ucap Glenn.
Glenn menambahkan, Ewindo saat ini telah membangun sejumlah Learning Farm dan berencana menambahnya di berbagai daerah. Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada petani cara bercocok tanah yang benar agar hasilnya bisa optimal.
"Dengan Learning Farm yang sudah didirikan di delapan lokasi, harapannya petani bisa melihat langsung teknik budidaya yang dikembangkan Ewindo. Sehingga akhirnya termotivasi untuk memperoduksi hal yang sama," tutur Glenn.***
Editor : Iwan Setiawan