Salak, Keringat, dan Beasiswa: Lakon Perjalanan Anak Negeri Menuju Kampus Impian

Beranjak dari keinginannya yang menggebu untuk melanjutkan jenjang pendidikan, usai lulus SMA perempuan yang gemar bermain musik ini mencoba mengajukan beasiswa ke sejumlah lembaga. Namun Dewi Keberuntungan belum hendak menghampirinya.
“Kondisi ekonomi keluarga tak memungkinkan saya untuk masuk ke perguruan tinggi. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan sehari-hari saja kerepotan,” kenang anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Sebagai buruh tani, penghasilan ayah Meidi tak menentu. Muhammad Idris Pane, ayah Meidi, bertugas sebagai pemetik salak. Jumlah rupiah yang diterimanya tergantung seberapa kilogram salak yang berhasil dipanen, “Dalam sebulan, ayah hanya menerima upah Rp1 juta-Rp2 juta. Paling banter dapat Rp3 juta,” terang Meidi.
Untuk membantu perekonomian keluarga, Ratna Dewi, ibu Meidi, berjualan kue basah di rumahnya. Tidak, dia tidak menjajakan produknya. Meidi bilang, ibunya membuat kue jika ada pesanan saja. Media sosial menjadi sarana untuk mempromosikan kue-kuenya itu.
Mencetak Generasi Cerdas
Tak bisa melanjutkan jenjang pendidikannya, Meidi memilih untuk bekerja. Dia diterima di salah satu bisnis franchise pisang coklat. Pada saat itulah dia untuk kali pertama mengetahui ada program BMP dari Agincourt Resources. “Januari 2024 saya berhenti kerja untuk fokus mempersiapkan tes di perguruan tinggi dan seleksi BMP, hingga akhirnya lolos,” terang peraih medali emas Olimpiade Sejarah yang digelar POSI tingkat Nasional ini.
Jangan salahkan Meidi apabila perempuan itu begitu histeris ketika kali pertama diberi kabar lolos sebagai penerima BMP. Ini sebuah anugerah dalam penggalan episode perjalanan hidupnya. Meidi mengenang, setelah berjingkrak kegirangan, dengan mata yang masih berkaca-kaca dia bergegas melakukan sujud syukur.
Editor : Iwan Setiawan