Jamu Tak Selalu Harus Digendong, Ini Jamu Digital Lho!

Jari-jari kedua tangan Susi Suryani menguning. Tapi perempuan itu enggan membersihkannya. Warna jari tangannya yang tak lazim ini, menarik perhatian rekan-rekan kerja Susi di sebuah pabrik kecap di Desa Wantilan, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Subang.
KETIKA salah satu rekannya bertanya mengapa jari tangannya menguning, Susi menjawab, “Tiap malam saya membuat jamu. Warna kuning yang menempel ini dari kunyit!”
Ya, setiap malam, perempuan asal Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ini membuat jamu asam kunyit. Dia mengupas kunyit, menumbuk, hingga menghaluskannya ke dalam blender.
Penasaran dengan jamu buatan Susi, beberapa rekan kerjanya minta dibawakan. Susi menyanggupinya. Dia kerap membawa jamu sederhananya itu ke pabrik. Membagi-bagikannya kepada rekan-rekan kerja. Rasanya? Tentu saja getir.
Terlalu sering memperoleh jamu secara gratis, rekan-rekan susi menjadi tak enak hati. Akhirnya mereka tetap minta dibawakan jamu, tapi dengan membayarnya. Tak lagi gratis.
Hari-hari selanjutnya, ke pabrik tempatnya bekerja, Susi menenteng jerigen berisi jamu asam kunyit buatannya. Pulang kerja, jerigen sudah dalam keadaan kosong melompong. Jamu racikannya laku keras. Salah satu langganannya adalah managernya. Vivi namanya.
Suatu hari, kenang Susi, managernya itu minta dibuatkan jamu yang rasanya enak. Tidak berasa getir seperti biasa. Susi menyanggupinya. Dia beri gula putih dan gula merah dalam adonan jamunya.
“Alhamdulillah, Bu Vivi sangat menyukainya,” kenang Susi saat ditemui di rumahnya, di Kampung Cisantri, RT/RW 01/02 Desa Cilandak, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Minggu (23/3/2025).
Jamu racikan laku keras, membuat Susi makin bersemangat. Dia terus membuat racikan. Bahan bakunya tak lagi hanya asam dan kunyit, tapi tumbuh-tumbuhan herbal lainnya.
Itu kisah 20 tahun yang lalu. Tepatnya pada 2005. Tak ada yang menyangka bahwa masa itu merupakan titik awal bagi seorang Susi menjadi sosok inspiratif bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Purwakarta saat ini.
“Lambat laun, pelanggan saya bukan hanya rekan-rekan di pabrik kecap, tetapi warga Purwakarta pada umumnya. Pemasarannya cukup dari mulut ke mulut. Maklum, waktu itu internet belum menjamur seperti sekarang,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Editor : Iwan Setiawan